Minggu, 19 Agustus 2012

ARTIKEL DINAMIKA DI DALAM MASJID



DINAMIKA DI DALAM MASJID
(Sebuah Upaya Mengembalikan Supremasi Masjid Sebagai Sentra Peradaban)

MAHFUD, S.Pd
&
HAQQUL AMIN, S.Pd
           
Dalam kehidupan bemasyarakat dan berkaitan dengan kelompok-kelompok sosial  (social group), dinamika adalah hal yang niscaya terjadi. Dinamika adalah suatu gejala yang umum dan wajar terjadi sebagai akibat adanya interaksi antar anggota kelompok dalam masyarakat untuk menemukan formulasi ideal dalam membangun tatanan interaksional yang humanis dan bermartabat di antara mereka. Manakala dinamika berlangsung di dalam masjid, maka menjadi tidak lazim. Mengingat masjid adalah wilayah otoritas khusus yang diperuntukkan sebagai tempat ibadah. Dan berbicara mengenai ibadah maka standarisasi konseptual dan operasionalnya sudah paten dan permanen berdasarkan dua rujukan utama Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak boleh ditambah maupun dikurangi, karena penambahan atau pengurangan terhadap sesuatu yang telah sempurna justeru akan merusak kesempurnaannya.
            Itulah sebabnya mengapa konsep tradisional dan modern tidak boleh didekatkan dengan masjid, karena akan merendahkan nilai-nilai islam sebagai wahyu yang telah paripurna. Konteks tradisional dan modern adalah tahapan perkembangan kebudayaan masyarakat manusia dalam proses perubahan sosial (social change) akibat adanya proses social planning dan social engginering, sementara islam sebagai sebuah kompleksitas ajaran sudah dijamin kesempurnaannya oleh Allah yang maha mengetahui melalui firman-Nya: “Hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu dan telah kucukupkan nikmatku kepadamu, telah kuridhai Islam sebagai agama bagimu” (Al-Maidah:3)
            Singkatnya, dinamika dalam arti mereformulasi aturan-aturan hidup, identik dengan ranah sosial serta berada dalam bingkai sosiologis, dan menjadi tidak lazim dalam kontek ibadah. Mengutak-atik diktum peribadatan berarti menggugat otoritas Rasulullah SAW dan bahkan otoritas Allah SWT.
Mengapa ada dinamika di dalam masjid?
            Masjid adalah ikon keislaman komunitas muslim, sampai-sampai para ulama menjadikan keberadaan masjid sebagai barometer utama. Adanya masjid di suatu tempat menunjukkan keberadaan ummat islam di tempat itu. Dengan demikian masjid dengan seluruh proses yang berlangsung di dalamnya berada dalam wilayah peribadatan yang seluruh format operasionalnya telah baku, sehingga upaya mencari-cari ide baru dan mencoba segala macam eksperimen tidak pernah akan bisa memperbaiki keadaan, malah merusaknya.
            Akhir-akhir ini dalam kalangan ummat islam timbul pemikiran tentang modernisasi dan pembaharuan nilai-nilai islam yang dimotori oleh kelompok islam liberal (JIL) yang mencoba mengkolaborasi nilai-nilai demokrasi sebagai sebuah budaya dengan nilai-nilai islam sebagai wahyu. Virus ini sadar tidak sadar telah merasuk ke dalam kalangan ummat, ditambah dengan minimnya kompetensi keilmuan mayoritas ummat terhadap dua sumber primer ajaran islam itu tadi, maka upaya mengembalikan status masjid ke khittahnya yang agung menjadi hal yang tidak sederhana. Perpaduan antara minimnya ilmu tentang syariat dan kelatahan mengadopsi nilai-nilai dari luar islam yang menjalar begitu sporadis dalam tubuh ummat, telah melahirkan dinamika negatif di dalam masjid, padahal ia harus steril dari hal-hal yang demikian.
            Fungsi utama masjid adalah sebagai sentra aktifitas ibadah terpenting dalam islam, yaitu sholat berjamaah. Sholat berjamaah memiliki peran seterategis yang tidak tertandingi dalam proses membangun pradaban masyarakt madani, bahkan kekuatan utama ummat islam bisa diukur dengan kualitas sholat berjamaah. Dalam konsepsi berjamaah inilah peran seorang imam menjadi sangat urgen. Ia adalah asset paling vital dalam upaya peningkatan kualitas ummat islam, bukan saja ibadah ritualnya, akan tetapi terhadap keseluruhan aspek kehidupan mereka.
            Keberadaan imam dan makmum adalah gambaran stratifikasi yang esensi dan berbeda dengan statifikasi sosial yang umum di dalam masyarakat. Stratifikasi  sebagai gejala sosial yang umum, selalu ada dalam masyarakat yang selalu menilai dan menghargai tinggi sesuatu. Sesuatu yang dimaksud menurut pakar Sosiologi Soerjono Soekanto meliputi; kekuasaan atau jabatan, kekayaan, ilmu pengetahuan, dan kehormatan. Keempat kriteria tersebut sering dijadikan oleh seseorang untuk menentukan status sosial (gengsi) dengan berusaha menempati strata atas dari tiap-tiap kriteria. Sehingga orang akan berlomba-lomba untuk mengejar keempat kriteria tersebut diatas, hatta dengan cara-cara yang tidak dibenarkan dan melanggar kaidah etika dan syariat.
            Lebih lanjut ia menjelaskan, dari keempat kriteria tersebut, khususnya kriteria kehormatan, tidak terkait dan berbeda dengan tiga kriteria yang lainnya. Karena kekuasaan, kekayaan dan ilmu pengetahuan saling terkait satu dengan yang lainnya. Orang yang menempati strata atas dari kriteria kekuasaan misalnya akan lebih gampang mencari kekayaan dan meraih gelar kesarjanaan sebagai simbol kepemilikan ilmu pengetahuan. Begitu pula dengan kriteria kekayaan, orang yang sudah kaya (menempati starata atas) lebih gampang memiliki kekuasaan dan memiliki gelar kesarjanaan walaupun dengan cara-cara yang tidak wajar. Sementara  kehormatan adalah kriteria yang tidak terkait dengan ketiganya. Siapa yang menempati strata tertinggi dimasyarakat dalam kriteria ini? mereka adalah orang-orang yang memiliki ketokohan dan kharisma, semisal tokoh agama,  sebagai akibat dari kelebihan ilmu yang mereka miliki ditambah dengan kesalehan dalam beribadah dan berinteraksi. Status sosial yang dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kriteria ini bersifat assigned status (status yang diberikan oleh orang banyak karena penghargaan dan penghormatan keilmuan dan kesalehannya). Sementara orang orang yang menempati strata atas dari tiga kriteria lainnya memiliki status sosial yang bersifat achieved status (status yang sengaja dikejar untuk tujuan-tujuan tertentu, yang biasanya untuk gengsi dan status sosial)
            Inilah kenyataan yang ada sekarang, orang beramai-ramai mengejar dan meraih keempat kriteria tersebut di atas untuk menokohkan dirinya, dan bukannya ditokohkan oleh orang banyak. Walaupun ia boleh memasuki ranah formal dengan mengantongi SK pengangkatan sebagi imam masjid, tapi itu tidak lebih hanya sekedar untuk kebutuhan administratif, dan dua faktor filosofis dibalik itu harus dikedepankan, yaitu;  bagaimana mekanisme SK itu didapat, dan  bagaimana SK itu dijalankan. Keduanya mutlak berada dalam wilayah syariat dan bebas dari intrik politik dan unsur rekayasa, serta tidak boleh ditawar-tawar dengan ayat-ayat demokrasi semisal voting, pengerahan massa, penggalangan tanda tangan, black campaign, hingga memanfaatkan media massa sebagai sarana perang urat syaraf dan menggiring opini publik untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Karena yang terjadi kemudian adalah konflik-konflik kepentingan, mengingat proses demokrasi selalu melibatkan dua fihak; menang dan kalah. Yang menang menepuk dada dan yang kalah mencari kambing hitam.
            Dari kondisi tersebut di atas tidak mengherankan jika masjid berdinamika, dalam masjid timbul kelompok-kelompok kepentingan, jamaah tandingan yang mengidentifikasikan dirinya dengan “kami” dan “kita” (in-group), dan kelompok-kelompok yang diidentifikasi sebagai lawan dengan artifisial “mereka” (out-group). Dua kelompok ini tidak akan pernah bisa berjamaah secara secara substantif, hanya berjamaah simbolik, sehingga ia menjadi bahaya laten bagi kelangsungan dan kemakmuran sebuah masjid.
            Oleh karena itu mata rantai ini harus diputus dengan sebuah wayout yang obyektif, yaitu dengan merujuk kepada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang berhubungan dengan permasalahan ini. Itulah starting point  terpenting sebagai landasan epistimologis bagi ummat untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada sebagaimana disinyalir dalam firman-Nya “….Dan apabila kalian berselisih faham terhadap sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah) jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir....(An-Nisa:59)
            Dari sumber-sumber yang melimpah dan mudah diakses kita bisa menggarisbawahi dua dimensi esensial yang mendiskripsikan benang merah antara kemajuan masjid dengan kemajuan ummat, yaitu dimensi ubudiyah dan dimensi ukhuwah.
Dimensi Ubudiyah
            Inilah dimensi yang akan mengawal seluruh aktifitas individual dan kolektif dalam masjid. Kehadiran kita di dalam masjid harus secara totalitas dimaknai penyembahan. Yang disembah adalah Rabb yang merajai langit dan bumi, Raja diraja yang agung. Seluruh entitas selain Dia, adalah kecil, lemah dan dependen, termasuk diri kita sendiri. Implikasi dari dimensi penyembahan adalah leburnya kesombongan pada diri si hamba.
            Kesombongan (al-kibr) dalam perspektif Rasulullah adalah kecenderungan menolak kebenaran (batrul haq) dan merendahkan orang lain. Batrul haq artinya ia enggan tunduk kepada dalil yang shohih. Menentang dalil yang syar’i dan mendahulukan akal, perasaan dan hawa nafsu. Sedangkan merendahkan orang lain bemakna egosentrisme, megalomania (merasa diri paling hebat), dan selalu benar. Sehingga apa yang datang dari orang lain pasti salah, tidak penting ada dalil atau tidak, hanya ingin didengar dan tidak mau mendengar, memakai mulut dan tidak memfungsikan telinga, arogan, sok, semena-mena, dan feodalistik. Dua sisi al-kibr itu saling terkait, artinya bila seseorang tunduk dan patuh (taslim) kepada dalil maka akan menjadi rendah hati (tawadhu’), dan menghargai sesama, toleran dan akomodatif, demikian juga sebaliknya.
            Ketika potensi kesombongan mampu kita tekan ke titik nol, maka barulah esensi penyembahan itu bermakna dan berpotensi nilai pahala. Sebelum memasuki masjid, maka seseorang harus melebur dulu ego dan megalomanianya. Ia harus mencuci habis ambisi-ambisi dan interest pribadinya akan gula-gula dunia dalam bentuk kedudukan/jabatan, penghormatan, gengsi sosial, apalagi uang. Ketika orang-orang dalam masjid masih terjangkit virus ini, maka jangan heran bila masjid menjadi ajang konfrontasi, perang dingin, hingga adu jotos.
            Pada dimensi itulah orang-orang masuk masjid tidak lagi ingin merendahkan dirinya dalam penyembahan, padahal itulah misi utama keberadaan seseorang dalam masjid, sebagaimanan firman-Nya “Dan sesungguhnya masjid itu adalah untuk Allah, maka janganlah kamu menyembah apapun di dalamnya, selain Allah” (Al-Jin:18). Allah tidak lagi menjadi Maha besar, ada sesuatu yang lain yang dianggap menyaingi kebesaran Allah bahkan mengalahkannya. Kesombongan benar-benar merusak pelakunya dan seluruh sistem di sekitarnya, pantaslah Iblis, Fir’aun, orang-orang Yahudi dan para bala tentara kesombongan mendapat laknat dari Allah. Na’udzubillah.
Dimensi Ukhuwah
Inilah dimensi yang menjadi sumber energi potensial ummat untuk merekatkan seluruh piranti yang berserakan dalam diri tiap pribadi muslim sebagai sub-sistem menjadi seluruh sistem yang kokoh ”Masyarakat muslim ibarat sebuah tubuh, bila merasa sakit salah satu bagian, maka akan ikut dirasakan oleh seluruh bagian tubuh yang lainnya”. Demikian sebuah statemen yang amat progresif dari Rasulullah SAW. Lebih lanjut beliau SAW memberi warning yang amat tegas kepada orang-orang yang alpa dari sholat berjamaah dengan mengatakan “Aku akan menyuruh salah seorang dari kalian untuk mengimami sholat, lalu aku dan beberapa orang akan keluar membakar rumah-rumah mereka”. Sejarah tidak mencatat satupun rumah sahabat yang dieksekusi, karena mereka menyadari dan merasakan manfaat sholat berjamaah dalam dimensi ubudiyah (hablum min-Allah) dan dimensi ukhuwah (hablum minannas).
            Dalam dimensi hablum minannas tersebut, konsepsi egaliter ditumbuhkan, kesetaraan menjadi hal yang kasat mata di sana, yaitu ketika seluruh status sosial lepas tanggal, terwujud dalam rapat dan lurusnya shaf mereka. Shaf yang teratur dan rapi menghapus seluruh sekat, selain itu ritme gerak tubuh dan jiwa mereka juga satu, serempak dan kompak dibawah komando sang imam.
            Nyata dalam sholat berjamaah pola interaksi iman dan makmum, dan antra makmum dengan makmum yang lainnya. Konsepsi loyalitas masyarakat (makmum) dan keadilan pemimpin (imam). Dua aspek itulah yang akan sanggup mempertahankan keutuhan dan kesatuan dalam suatu komunitas. Sebaliknya bila egoisme, megalomania, anti loyalitas dan berbagai dimensi kesombongan lainnya masih menempel di hati setiap makmum, maka sholat berjamaah kita tidak akan membawa pengaruh apa-apa. Bila virus ini menimpa para imam, maka rekonstruksi peradaban menuju masyarakat islam sejati akan mati suri. Masjid menjadi sepi dan dijauhi ummat. Meskipun kadang-kadang kelihatan ramai, maka ia kosong dari ubudiyah dan ukhuwah. Yang ada kemudian keramaian semu, berisi konfrontasi, saling mendzalimi, saling teror. Masjid kita terluka, cahayanya redup dan hampa.
            Maka menjadi amat urgen sekarang ini untuk meningkatkan kualitas imam di masjid-masjid kita. Sudah saatnya kembali secara total kepada petunjuk Rasulullah SAW. dalam memilih hanya yang terbaik untuk menjadi imam kita, sebagaimana hadits riwayat Muslim: “Hendaklah yang menjadi imam adalah yang paling ahli tentang al-Qur’an, bila mereka sama dalam keilmuannya tentang al-Qur’an, maka yang paling faham Sunnah, bila sama dalam perkara Sunnah, maka yang lebih dahulu hijrah, apabila bersamaan dalam hijrah, maka yang paling dahulu masuk islam. Tidak boleh seseorang mengimami orang lain di daerah yang mereka kuasai”
            Perlu dicatat bahwa pemahaman terhadap al-Qur’an dan Sunnah dalam konteks ini tidak hanya sebatas wawasan keilmuan, tapi lebih sebagai sikap dan watak. Maka yang menjadi imam adalah yang paling wara’ (menjaga diri dari yang subhat apalagi yang haram), yang paling zuhud (berorientasi akhirat dan tidak materialis sama sekali), paling takwa, dan paling baik akhlaknya. Singkatnya pada diri imam, secara kasat mata kita melihat keteladanan, memiliki kompetensi intelektual yang mumpuni, dan integritas moral yang absolut. Dengan paradigma ini, maka para imam di masjid-masjid kita sangat perlu difasilitasi untuk meningkatkan kapasitas keilmuannya melalui pelatihan-palatihan, workshop, dauroh, dan sejenisnya secara berkelanjutan.
            Departemen Agama tingkat kabupaten melalui divisi yang membidangi hal ini perlu mengagendakan ini secara serius untuk kepentingan jangka panjang. Pada saat yang bersamaan harus muncul inisiatif kemajuan ilmiah dari diri para imam, dan kontrol yang mutualistik dari para jamaah, dengan memperbanyak acara diskusi tentang perkara-perkara agama, mengundang ustadz-ustadz yang kompeten sebagai nara sumber. Bukannya sibuk membuat isu-isu murahan dan  membicarakan agenda-agenda politik. Mengisi masjid dengan ritual-ritual berbasis tradisi.
            Maka wahai para imam dan seluruh kaum muslimin, inilah saatnya bertanya kepada diri sendiri untuk menjawab pertanyaan ini: “apa tujuan saya memasuki masjid?, sudahkan tujuan saya ini selaras dengan kehendak syariat, yaitu kehendak Allah dan Rasul-Nya?  bila kita mampu memberi jawaban jujur atas pertanyaan di atas, maka harapan mengembalikan kejayaan masjid, dan kejayaan ummat masih sangat besar. Wallahu A’lam
Penulis
Adalah guru  SMA NEGERI 1 Empang