DINAMIKA
DI DALAM MASJID
(Sebuah
Upaya Mengembalikan Supremasi Masjid Sebagai Sentra Peradaban)
&
HAQQUL
AMIN, S.Pd
Dalam kehidupan bemasyarakat dan
berkaitan dengan kelompok-kelompok sosial
(social group), dinamika adalah
hal yang niscaya terjadi. Dinamika adalah suatu gejala yang umum dan wajar terjadi
sebagai akibat adanya interaksi antar anggota kelompok dalam masyarakat untuk
menemukan formulasi ideal dalam membangun tatanan interaksional yang humanis
dan bermartabat di antara mereka. Manakala dinamika berlangsung di dalam
masjid, maka menjadi tidak lazim. Mengingat masjid adalah wilayah otoritas
khusus yang diperuntukkan sebagai tempat ibadah. Dan berbicara mengenai ibadah
maka standarisasi konseptual dan operasionalnya sudah paten dan permanen
berdasarkan dua rujukan utama Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak boleh ditambah
maupun dikurangi, karena penambahan atau pengurangan terhadap sesuatu yang
telah sempurna justeru akan merusak kesempurnaannya.
Itulah sebabnya mengapa konsep
tradisional dan modern tidak boleh didekatkan dengan masjid, karena akan
merendahkan nilai-nilai islam sebagai wahyu yang telah paripurna. Konteks
tradisional dan modern adalah tahapan perkembangan kebudayaan masyarakat
manusia dalam proses perubahan sosial (social
change) akibat adanya proses social
planning dan social engginering,
sementara islam sebagai sebuah kompleksitas ajaran sudah dijamin
kesempurnaannya oleh Allah yang maha mengetahui melalui firman-Nya: “Hari ini telah kusempurnakan untukmu
agamamu dan telah kucukupkan nikmatku kepadamu, telah kuridhai Islam sebagai
agama bagimu” (Al-Maidah:3)
Singkatnya, dinamika dalam arti
mereformulasi aturan-aturan hidup, identik dengan ranah sosial serta berada
dalam bingkai sosiologis, dan menjadi tidak lazim dalam kontek ibadah.
Mengutak-atik diktum peribadatan berarti menggugat otoritas Rasulullah SAW dan
bahkan otoritas Allah SWT.
Mengapa ada
dinamika di dalam masjid?
Masjid adalah ikon keislaman
komunitas muslim, sampai-sampai para ulama menjadikan keberadaan masjid sebagai
barometer utama. Adanya masjid di suatu tempat menunjukkan keberadaan ummat
islam di tempat itu. Dengan demikian masjid dengan seluruh proses yang
berlangsung di dalamnya berada dalam wilayah peribadatan yang seluruh format
operasionalnya telah baku, sehingga upaya mencari-cari ide baru dan mencoba
segala macam eksperimen tidak pernah akan bisa memperbaiki keadaan, malah
merusaknya.
Akhir-akhir ini dalam kalangan ummat
islam timbul pemikiran tentang modernisasi dan pembaharuan nilai-nilai islam
yang dimotori oleh kelompok islam liberal (JIL) yang mencoba mengkolaborasi
nilai-nilai demokrasi sebagai sebuah budaya dengan nilai-nilai islam sebagai
wahyu. Virus ini sadar tidak sadar telah merasuk ke dalam kalangan ummat,
ditambah dengan minimnya kompetensi keilmuan mayoritas ummat terhadap dua
sumber primer ajaran islam itu tadi, maka upaya mengembalikan status masjid ke
khittahnya yang agung menjadi hal yang tidak sederhana. Perpaduan antara
minimnya ilmu tentang syariat dan kelatahan mengadopsi nilai-nilai dari luar
islam yang menjalar begitu sporadis dalam tubuh ummat, telah melahirkan
dinamika negatif di dalam masjid, padahal ia harus steril dari hal-hal yang
demikian.
Fungsi utama masjid adalah sebagai
sentra aktifitas ibadah terpenting dalam islam, yaitu sholat berjamaah. Sholat
berjamaah memiliki peran seterategis yang tidak tertandingi dalam proses membangun
pradaban masyarakt madani, bahkan kekuatan utama ummat islam bisa diukur dengan
kualitas sholat berjamaah. Dalam konsepsi berjamaah inilah peran seorang imam
menjadi sangat urgen. Ia adalah asset paling vital dalam upaya peningkatan
kualitas ummat islam, bukan saja ibadah ritualnya, akan tetapi terhadap
keseluruhan aspek kehidupan mereka.
Keberadaan imam dan makmum adalah gambaran
stratifikasi yang esensi dan berbeda dengan statifikasi sosial yang umum di
dalam masyarakat. Stratifikasi sebagai
gejala sosial yang umum, selalu ada dalam masyarakat yang selalu menilai dan
menghargai tinggi sesuatu. Sesuatu yang dimaksud menurut pakar Sosiologi Soerjono
Soekanto meliputi; kekuasaan atau jabatan, kekayaan, ilmu pengetahuan, dan
kehormatan. Keempat kriteria tersebut sering dijadikan oleh seseorang untuk
menentukan status sosial (gengsi) dengan
berusaha menempati strata atas dari tiap-tiap kriteria. Sehingga orang akan
berlomba-lomba untuk mengejar keempat kriteria tersebut diatas, hatta dengan
cara-cara yang tidak dibenarkan dan melanggar kaidah etika dan syariat.
Lebih lanjut ia menjelaskan, dari
keempat kriteria tersebut, khususnya kriteria kehormatan, tidak terkait dan
berbeda dengan tiga kriteria yang lainnya. Karena kekuasaan, kekayaan dan ilmu
pengetahuan saling terkait satu dengan yang lainnya. Orang yang menempati strata
atas dari kriteria kekuasaan misalnya akan lebih gampang mencari kekayaan dan
meraih gelar kesarjanaan sebagai simbol kepemilikan ilmu pengetahuan. Begitu
pula dengan kriteria kekayaan, orang yang sudah kaya (menempati starata atas)
lebih gampang memiliki kekuasaan dan memiliki gelar kesarjanaan walaupun dengan
cara-cara yang tidak wajar. Sementara
kehormatan adalah kriteria yang tidak terkait dengan ketiganya. Siapa
yang menempati strata tertinggi dimasyarakat dalam kriteria ini? mereka adalah
orang-orang yang memiliki ketokohan dan kharisma, semisal tokoh agama, sebagai akibat dari kelebihan ilmu yang
mereka miliki ditambah dengan kesalehan dalam beribadah dan berinteraksi.
Status sosial yang dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kriteria ini
bersifat assigned status (status yang diberikan oleh orang banyak karena
penghargaan dan penghormatan keilmuan dan kesalehannya). Sementara orang orang
yang menempati strata atas dari tiga kriteria lainnya memiliki status sosial
yang bersifat achieved status (status yang sengaja dikejar untuk
tujuan-tujuan tertentu, yang biasanya untuk gengsi dan status sosial)
Inilah kenyataan yang ada sekarang,
orang beramai-ramai mengejar dan meraih keempat kriteria tersebut di atas untuk
menokohkan dirinya, dan bukannya ditokohkan oleh orang banyak. Walaupun ia
boleh memasuki ranah formal dengan mengantongi SK pengangkatan sebagi imam
masjid, tapi itu tidak lebih hanya sekedar untuk kebutuhan administratif, dan
dua faktor filosofis dibalik itu harus dikedepankan, yaitu; bagaimana mekanisme SK itu didapat, dan bagaimana SK itu dijalankan. Keduanya mutlak
berada dalam wilayah syariat dan bebas dari intrik politik dan unsur rekayasa,
serta tidak boleh ditawar-tawar dengan ayat-ayat demokrasi semisal voting,
pengerahan massa, penggalangan tanda tangan, black campaign, hingga memanfaatkan media massa sebagai sarana
perang urat syaraf dan menggiring opini publik untuk kepentingan pribadi maupun
kelompoknya. Karena yang terjadi kemudian adalah konflik-konflik kepentingan,
mengingat proses demokrasi selalu melibatkan dua fihak; menang dan kalah. Yang
menang menepuk dada dan yang kalah mencari kambing hitam.
Dari kondisi tersebut di atas tidak
mengherankan jika masjid berdinamika, dalam masjid timbul kelompok-kelompok
kepentingan, jamaah tandingan yang mengidentifikasikan dirinya dengan “kami”
dan “kita” (in-group), dan
kelompok-kelompok yang diidentifikasi sebagai lawan dengan artifisial “mereka” (out-group). Dua kelompok ini tidak akan
pernah bisa berjamaah secara secara substantif, hanya berjamaah simbolik, sehingga ia menjadi bahaya laten bagi
kelangsungan dan kemakmuran sebuah masjid.
Oleh karena itu mata rantai ini
harus diputus dengan sebuah wayout
yang obyektif, yaitu dengan merujuk kepada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang berhubungan dengan permasalahan ini. Itulah starting point terpenting sebagai landasan epistimologis
bagi ummat untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada sebagaimana disinyalir
dalam firman-Nya “….Dan apabila kalian
berselisih faham terhadap sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an)
dan Rasul-Nya (As-Sunnah) jika kalian beriman kepada Allah dan hari
akhir....(An-Nisa:59)
Dari sumber-sumber yang melimpah dan
mudah diakses kita bisa menggarisbawahi dua dimensi esensial yang
mendiskripsikan benang merah antara kemajuan masjid dengan kemajuan ummat, yaitu
dimensi ubudiyah dan dimensi ukhuwah.
Dimensi Ubudiyah
Inilah dimensi yang akan mengawal
seluruh aktifitas individual dan kolektif dalam masjid. Kehadiran kita di dalam
masjid harus secara totalitas dimaknai penyembahan. Yang disembah adalah Rabb
yang merajai langit dan bumi, Raja diraja yang agung. Seluruh entitas selain Dia,
adalah kecil, lemah dan dependen, termasuk diri kita sendiri. Implikasi dari
dimensi penyembahan adalah leburnya kesombongan pada diri si hamba.
Kesombongan (al-kibr) dalam perspektif Rasulullah adalah kecenderungan menolak
kebenaran (batrul haq) dan
merendahkan orang lain. Batrul haq artinya
ia enggan tunduk kepada dalil yang shohih. Menentang dalil yang syar’i dan mendahulukan akal, perasaan
dan hawa nafsu. Sedangkan merendahkan orang lain bemakna egosentrisme, megalomania
(merasa diri paling hebat), dan selalu benar. Sehingga apa yang datang dari
orang lain pasti salah, tidak penting ada dalil atau tidak, hanya ingin
didengar dan tidak mau mendengar, memakai mulut dan tidak memfungsikan telinga,
arogan, sok, semena-mena, dan feodalistik. Dua sisi al-kibr itu saling terkait, artinya bila seseorang tunduk dan patuh
(taslim) kepada dalil maka akan
menjadi rendah hati (tawadhu’), dan
menghargai sesama, toleran dan akomodatif, demikian juga sebaliknya.
Ketika potensi kesombongan mampu
kita tekan ke titik nol, maka barulah esensi penyembahan itu bermakna dan
berpotensi nilai pahala. Sebelum memasuki masjid, maka seseorang harus melebur
dulu ego dan megalomanianya. Ia harus
mencuci habis ambisi-ambisi dan interest pribadinya akan gula-gula dunia dalam
bentuk kedudukan/jabatan, penghormatan, gengsi sosial, apalagi uang. Ketika
orang-orang dalam masjid masih terjangkit virus ini, maka jangan heran bila
masjid menjadi ajang konfrontasi, perang dingin, hingga adu jotos.
Pada dimensi itulah orang-orang
masuk masjid tidak lagi ingin merendahkan dirinya dalam penyembahan, padahal
itulah misi utama keberadaan seseorang dalam masjid, sebagaimanan firman-Nya “Dan sesungguhnya masjid itu adalah untuk
Allah, maka janganlah kamu menyembah apapun di dalamnya, selain Allah”
(Al-Jin:18). Allah tidak lagi menjadi Maha besar, ada sesuatu yang lain
yang dianggap menyaingi kebesaran Allah bahkan mengalahkannya. Kesombongan
benar-benar merusak pelakunya dan seluruh sistem di sekitarnya, pantaslah
Iblis, Fir’aun, orang-orang Yahudi dan para bala tentara kesombongan mendapat
laknat dari Allah. Na’udzubillah.
Dimensi
Ukhuwah
Inilah dimensi yang menjadi sumber energi
potensial ummat untuk merekatkan seluruh piranti yang berserakan dalam diri
tiap pribadi muslim sebagai sub-sistem menjadi seluruh sistem yang kokoh ”Masyarakat muslim ibarat sebuah tubuh, bila
merasa sakit salah satu bagian, maka akan ikut dirasakan oleh seluruh bagian
tubuh yang lainnya”. Demikian sebuah statemen yang amat progresif dari
Rasulullah SAW. Lebih lanjut beliau SAW memberi warning yang amat tegas kepada
orang-orang yang alpa dari sholat berjamaah dengan mengatakan “Aku akan menyuruh salah seorang dari kalian
untuk mengimami sholat, lalu aku dan beberapa orang akan keluar membakar
rumah-rumah mereka”. Sejarah tidak mencatat satupun rumah sahabat yang
dieksekusi, karena mereka menyadari dan merasakan manfaat sholat berjamaah
dalam dimensi ubudiyah (hablum min-Allah)
dan dimensi ukhuwah (hablum minannas).
Dalam dimensi hablum minannas tersebut, konsepsi egaliter ditumbuhkan, kesetaraan
menjadi hal yang kasat mata di sana, yaitu ketika seluruh status sosial lepas
tanggal, terwujud dalam rapat dan lurusnya shaf mereka. Shaf yang teratur dan
rapi menghapus seluruh sekat, selain itu ritme gerak tubuh dan jiwa mereka juga
satu, serempak dan kompak dibawah komando sang imam.
Nyata dalam sholat berjamaah pola
interaksi iman dan makmum, dan antra makmum dengan makmum yang lainnya.
Konsepsi loyalitas masyarakat (makmum)
dan keadilan pemimpin (imam). Dua
aspek itulah yang akan sanggup mempertahankan keutuhan dan kesatuan dalam suatu
komunitas. Sebaliknya bila egoisme, megalomania, anti loyalitas dan berbagai
dimensi kesombongan lainnya masih menempel di hati setiap makmum, maka sholat
berjamaah kita tidak akan membawa pengaruh apa-apa. Bila virus ini menimpa para
imam, maka rekonstruksi peradaban menuju masyarakat islam sejati akan mati suri.
Masjid menjadi sepi dan dijauhi ummat. Meskipun kadang-kadang kelihatan ramai,
maka ia kosong dari ubudiyah dan ukhuwah. Yang ada kemudian keramaian semu,
berisi konfrontasi, saling mendzalimi, saling teror. Masjid kita terluka,
cahayanya redup dan hampa.
Maka menjadi amat urgen sekarang ini
untuk meningkatkan kualitas imam di masjid-masjid kita. Sudah saatnya kembali
secara total kepada petunjuk Rasulullah SAW. dalam memilih hanya yang terbaik
untuk menjadi imam kita, sebagaimana hadits riwayat Muslim: “Hendaklah yang
menjadi imam adalah yang paling ahli tentang al-Qur’an, bila mereka sama dalam
keilmuannya tentang al-Qur’an, maka yang paling faham Sunnah, bila sama dalam
perkara Sunnah, maka yang lebih dahulu hijrah, apabila bersamaan dalam hijrah,
maka yang paling dahulu masuk islam. Tidak boleh seseorang mengimami orang lain
di daerah yang mereka kuasai”
Perlu dicatat bahwa pemahaman
terhadap al-Qur’an dan Sunnah dalam konteks ini tidak hanya sebatas wawasan
keilmuan, tapi lebih sebagai sikap dan watak. Maka yang menjadi imam adalah
yang paling wara’ (menjaga diri dari yang subhat apalagi yang haram), yang
paling zuhud (berorientasi akhirat dan tidak materialis sama sekali), paling
takwa, dan paling baik akhlaknya. Singkatnya pada diri imam, secara kasat mata
kita melihat keteladanan, memiliki kompetensi intelektual yang mumpuni, dan
integritas moral yang absolut. Dengan paradigma ini, maka para imam di
masjid-masjid kita sangat perlu difasilitasi untuk meningkatkan kapasitas
keilmuannya melalui pelatihan-palatihan, workshop, dauroh, dan sejenisnya
secara berkelanjutan.
Departemen Agama tingkat kabupaten
melalui divisi yang membidangi hal ini perlu mengagendakan ini secara serius
untuk kepentingan jangka panjang. Pada saat yang bersamaan harus muncul
inisiatif kemajuan ilmiah dari diri para imam, dan kontrol yang mutualistik
dari para jamaah, dengan memperbanyak acara diskusi tentang perkara-perkara
agama, mengundang ustadz-ustadz yang kompeten sebagai nara sumber. Bukannya
sibuk membuat isu-isu murahan dan
membicarakan agenda-agenda politik. Mengisi masjid dengan ritual-ritual
berbasis tradisi.
Maka wahai para imam dan seluruh
kaum muslimin, inilah saatnya bertanya kepada diri sendiri untuk menjawab
pertanyaan ini: “apa tujuan saya
memasuki masjid?, sudahkan tujuan saya ini selaras dengan kehendak syariat,
yaitu kehendak Allah dan Rasul-Nya? bila kita mampu memberi jawaban jujur atas
pertanyaan di atas, maka harapan mengembalikan kejayaan masjid, dan kejayaan
ummat masih sangat besar. Wallahu A’lam
Penulis
Adalah
guru SMA NEGERI 1 Empang