PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA
SIAPAKAH YANG HARUS BERTANGGUNG
JAWAB?
Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam
masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam
berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media
elektronik, setelah mencuatnya kasus suap Sesmenpora, kasus suap di Kemenakertrans
yang melibatkan banyak petinggi negeri ini baik kalangan legeslatif, eksekutif,
yudukatif, maupun dunia usaha. Dan yang sangat baru adalah kasus SMA Negeri 6
Jakarta, yang semuanya mengarah pada memudarnya karakter bangsa. Selain di
media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para pengamat pendidikan,
dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan karakter bangsa di berbagai forum seminar,
baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul
di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan,
perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupn politik yang
tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat dan menarik.
Padahal belum lama ini pemerintah telah mencanangkan kebijakan nasional
pembangunan karakter bangsa, dengan merujuk kepada UU RI no. 17 tahun 2001 tentang
RJPN 2005-2025, Inpres no. 1 tahun 2010, arahan presiden RI dalam sidang kabinet
terbatas bidang kesra tanggal 18 maret 2010, arahan presiden RI dalam Rakernas
di Tampak Siring Bali 19-20 April 2010, arahan presiden RI pada puncak
peingatan Hardiknas di Istana Negara 11 Mei 2010, pencanangan tersebut dalam bentuk Rencana Aksi
Nasional (RAN) Pembangunan Karakter Bangsa (PKB) 2010 – 2025, yang dikomandoi oleh Kemenko
Kesra, dengan berkoordinasi dengan kementerian Kemenko Polhukam, Kemendiknas,
Kemenag, Kemenbudpar, Kemendagri, Kemenkominfo, Kemenpora, Kemen PP dan PA
Kemenkeu, Kemenlu, Sekretariat Kabinet, Bappenas, Kwarnas Pramuka, dan yayasan jati diri
bangsa, dengan ruang lingkup sasaran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat
sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.
Kemendiknas sebagai
salah satu lembaga kemeterian terkait segera mengambil langkah nyata mengimplementasikan
pendidikan karakter bangsa ke dalam kurikkulum pendidikan sekolah, kedalam
kebiasaan-kebiasaan di sekolah, dalam program ekstrkurikuler, dengan berpedoman
kepada UU no 20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional. Namun apakah
karakter itu ?. ada banyak pengertian tentang
karakter antara lain dikemukakan oleh Dr. Ali Muhtadi, M.Pd, karakter adalah “sifat khas” yang dimiliki seseorang / kepribadian.
Sifat sifat kejiwaan, tabiat, watak, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dengan orag lain (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia), Pendidikan Karakter merupakan pendidikan
nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang
bertujuan mengembangkan kemampuan seluruh warga sekolah untuk memberikan
keputusan baik-buruk, keteladanan, memelihara apa yang baik & mewujudkan
kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.(Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter,
2010), lebih lanjut Balitbang Kemendiknas menjelaskan bahwa karakter
adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai
kebajikan (virtues) yang diyakininya
dan digunakannya sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan
bertindak.
Menurut Prof.Dr. Dasim
Budimansyah, ada enam karakter yang perlu dikembangkan dalam setiap individu
yaitu; jujur, bertanggungjawab, cerdas, bersih, sehat, peduli dan kreatif.
Sementara menurut UU RI No. 17 Tahun
2007 Tentang
RPJPN 2005-2025 karakter yang diharapkan adalah; Tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik,
dinamis, berbudaya, dan berorientasi Iptek berdasarkan Pancasila dan dijiwai
oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mengapa pendidikan
karakter penting dan mendesak bagi bangsa ?, Kemenko Kesra menjelaskan pentingnya
pendidikan karakter bangsa karena fenomena keseharian masyarakat menunjukkan
prilaku yang belum sejalan dengan karakter bangsa yang dijiwai oleh falsafah
pancasila. Lebih lanjut Dr. Ali Muhtadi, M.Pd memberikan argumen antara lain
disebabkan karena bangsa kita telah lama memiliki kebiasaan-kebiasaan yang
kurang kondusif untuk membangun bangsa yang unggul. Ryan Sugiarto (2009) antara
lain mengemukakan beberapa kebiasaan yang dimaksud, antara lain; tidak
disiplin, suka menunda pekerjaan , ingkar janji, pesimis, suka mengeluh,
meremehkan orang lain, tidak menghargai waktu, membuang sampah dan merokok
disembarang tempat, boros dan konsumtif,
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, terlalu birokratif, provokatif dan gampang diprovokasi,,
meremehkan sejarah dan tradisi. Lebih lanjut Undang-Undang no. 20 tahun 2003,
tentang sisdiknas menjelaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Berangkat dari kebijakan
pemerintah tentang RAN - PKB, jelas membutuhkan kerja terintegrasi, dan menjadi proyek besar semua fihak. Masih
segar dalam ingatan kita, kasus perkelahian antara siswa SMA 6 Jakarta dengan
awak media . Dari berbagai pemberitaan, dialog diberbagai stasiun tv swasta
sangat jelas mempertanyakan model pendidikan karakter di sekolah, dan bermuara
pada satu kesimpulan kegagalan pendidikan karakter di sekolah, dan perlu
peninjauan kembali. Ini menunjukkan cara berfikir yang tidak mengerti
permasalahan dan menampar muka sendiri.
Karena ruang lingkup dan sasaran RAN – PKB adalah Keluarga; satuan pendidikan;
masyarakat sipil; masyarakat politik; pemerintah; dunia usaha; dan media massa.
Itu artinya bahwa dua fihak yang berkonflik adalah mereka yang menjadi sasaran
pelaksanaan RAN – PKB, sehingga mestinya kedua belah fihak tidak saling
menyalahkan dan mencari pembenaran sendiri.
Dari berbagai bentuk
karakter yang diharapkan sesuai dengan UU RI No. 17 Tahun 2007 Tentang
RPJPN 2005-2025, dan enam bentuk karakter yang ditekankan untuk di
implementasikan dalam pengajaran, seperti yang dikemukakan oleh Dasim
Budimansyah, tidak ada satupun karakter yang mampu dikerjakan sendiri oleh guru
dan lembaga pendidikan. Bukankah Ki Hajar Dewantoro mengatakan bahwa pilar
pendidikan adalah keluarga, sekolah dan masyarakat. Haruskan sekolah dan guru
bekerja sendiri untuk kesuksesan pendidikan karakter ?, dan haruskan sekolah
dan guru menjadi penanggungjawab utama, fihak yang paling bersalah, jika ada
kesalahan penerapan karakter anak bangsa ?, seperti contoh kasus SMA 6 Jakarta.
UU no. 20 tentang
sisdiknas, menjelaskan bahwa “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak, ………”. Dalam kamus bahasa Indonesia makna kata mengembangkan adalah
menjadi bertambah sempurna pribadi, fikiran dan pengetahuannya. Artinya sebelum
lembaga pendidikan berproses untuk mengembangkan pribadi, fikiran dan
pengetahuan anak, tentu ada lembaga lain yang telah berproses meletakkan dasar
pribadi, fikiran, dan pengetahuan dimaksud. Lembaga yang dimaksud adalah
keluarga. Berger dan Lukman (dalam Arif rahman 93), menjelaskan bahwa proses
belajar individu pertama kali berada di lingkungan keluarga, ia mempelajari
nilai, norma dan kebiasaan keluarga (sosilisasi primer) sampai ia siap dan
memiliki bekal yang cukup untuk bergaul dimasyarakat (sosialisasi skunder),
yaitu teman bermain, sekolah, dan media massa. Dalam proses sosialisasi dan
pembentukan karakter (kepribadian) guru hanya salah satu dari banyak agen / media
penyampai nilai-nilai sosialisasi (nilai-nilai karakter bangsa). Demikian juga
sekolah hanya salah satu dari banyak lembaga pelaksana sosialisasi, seperti
lembaga keluarga, lembaga agama, lembaga politik, dan media massa.
Dari berbagai argumen
di atas sangat jelas bahwa pendidikan karakter, pebentukan kepribadian, menjadi
tanggung jawab banyak fihak, dan kerja terintegrasi. Pembentukan karakter
bangsa yang dimaksud memiliki peluang kegagalan yang besar, karena dalam kenyataannya terjadi
ketidak sepadanan pesan yang disampaikan oleh agen sosialisasi, baik
sosialisasi primer maupun sosialisasi sekunder. Akibatnnya anak merasa
terombang ambing dalam ketidak jelasan pesan yang diserap, mengalami konflik pribadi,
tidak memiliki pedoman sikap yang mantap. Lembaga pendidikan dan guru sebagai
salah satu lembaga dan agen sosialisasi hanya memilliki waktu 6 jam untuk
melaksanakan tugas mulia yang diamanatkan undang-undang no. 20 “mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak……”. Berhasil ataukah gagal?. Jawabannya tentu
pembaca yang lebih tahu. Penulis hanya mencoba mengungkapkan fenomena yang ada
untuk dikaji bersama.
Seorang anak sebelum
berproses dengan sekolah melalui pengajaran mata pelajaran yang
terintegrasi dengan karakter bangsa (6
jam), dia berangkat dari keluarga dan
masyarakat, dan akan kembali ke keluarga dan masyarakat (18 jam), maka yang
terjadi kemudian adalah kebingungan dikalangan anak, karena adanya ketidak singkronan
pesan yang diterima didalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Adanya proses
sosialisasi primer yang tidak sempurna, kegagalan keluarga menjalankan fungsi
sosialisasi, afeksi, dan ekonomi bagi anak-anaknya, ditambah carut marutnya
pemberitaan tentang konflik sosial, pollitik, yang disampaikan oleh media
massa, tv, Koran, majalah, dan media online. Akan mempersulit keberhasilan
pendidikan karakter bangsa. Pada dasarnya jauh-jauh hari sebelum dicanangkan program
RAN – PKB oleh pemerintah, dan kebijakan Kemendiknas tentang pengimplementasian
pendidikan kakarter bangsa ke dalam kurikulum sekolah, guru di sekolah sudah
mengajarkan tentang karakter, walaupun belum tercantum dalam silabus dan tujuan
pembelajaran (RPP). Karena karakter yang dimaksud terintegrasi dengan kegiatan
mendidik. Tapi kenapa sampai hari ini belum menampakkan hasil nyata ?. walaupun
telah setahun dicanangkan. jawabanya jelas, karena semua lembaga dan
kementerian terkait bekerja sendiri, sampai saat ini kemendiknas telah
mengambil langkah nyata dalam bentuk kebijakan, tapi sampai saat ini guru
sebagai ujung tombak di lapangan masih memiliki pemahaman tidak jelas. Lembaga
– lembaga lain belum memiliki langkah nyata, walaupun dalam bentuk kebijakan.
akibatnya “ketidaksepadanan” pesan yang
disampaikan oleh agen sosialisasi dalam pembentukan karakter/pribadi anak. Guru
di sekolah mengajarkan kejujuran, sampai dirumah sadar tidak sadar orang tua
mengajarkan ketidak jujuran, “nak nanti kalau ada pegawai/tukang kredit, bilang saja ibu lagi pergi”. Itu adalah
potongan dialog seorang ibu kepada anaknya sepulang sekolah karena tidak mampu
melunasi kredit harian dari mungkin lebih dari satu lembaga kredit. sekolah
mengajarkan kelembutan dalam bertutur sapa, sampai dirumah anak menyaksikan
orang tuanya sedang berkonflik, bersitegang mengenai berbagai problem
rumahtangga, ditambah dengan pemberitaan tv mengenai kekerasan baik dilakukan
oleh organisasi massa, superter olahraga, maupun alat kelengkapan pemerintah
terhadap kelompok masyarakat lainnya. Sekolah mengajarkan kejujuran, saling
menghargai, pedulli dengan sesama, hidup sederhana. Sepulang sekolah sambil
makan siang anak disuguhkan berita tv tentang pejabat Negara yang “mengkorup”
uang rakyat, berita tentang koleksi mobil, rumah mewah, dan rekening yang dimiliki para
pejabat Negara yang bermilyar-milyar , berita tentang orang yang mati terinjak
saat orang kaya pamer harta bertajuk pembagian zakat 2 kg beras + Rp. 10 000. Guru
mengajarkan karakter bertanggungjawab, media online menyuguhkan berita tentang
deretan menteri yang melepas tanggung jawab dari kasus korupsi yang menimpa
kementeriannya. Guru mengajarkan tentang karakter hidup sehat, padahal anak
sebelum berangkat sekolah mandi dan cuci di kali yang sangat tidak sehat,
akibat tidak memiliki sarana sanitasi. Guru menekankan siswa untuk selalu berfikiran cerdas, belajar yang rajin.
Sepulang sekolah anak harus membantu orang tua mencari nafkah, di sawah, di
ladang, di laut, memulung, mengamen. Ditambah lagi cerita - cerita sinetron
yang menyimpang jauh dari karakter bangsa, dan hanya bisa menjadi tontonan, dan
tidak bisa menjadi tuntunan. Keluarga mengajarkan kelembutan, sampai disekolah
anak berpacu dengan waktu untuk menyelesaikan jadwal belajar yang semuanya
mengedepankan nilai saja (angka kepandaian). berita-berita media online semacam
twitter dan facebook semakin membingungkan pemikiran anak yang sedang mengalami
pembentukan karakter, pencarian jati diri. Semua fihak yang menjadi agen
sosialisasi (penyampai nilai-nilai karakter bangsa), tidak bisa lagi menjadi
“teladan” bagi anak-anak, baik dirumah, sekolah, maupun masyarakat. Orang tua
sibuk dengan urusannya sendiri, aparatur sibuk dengan urusannya sendiri, media
massa sibuk dengan urusannya sendiri, akibatnya
urusan pembentukan karakter anak menjadi terabaikan. Sehingga rasanya
keberhasilan pendidikan karakter bangsa menjadi harapan sia-sia, kalau kita
tidak segera sadar, karena waktu masih cukup panjang dan kita belum terlambat.
Wallahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar