Selasa, 24 September 2013

artikel adat samawa

MEREKONSTRUKSI ADAT BERSENDIKAN SYARA,  SYARA BERSENDIKAN KITABULLAH SEBAGAI ENTRI POIN BERBUDAYA DI TANA SAMAWA

Oleh : Mahfud S,Pd & Haqqul Amin S.Pd


                Budaya  adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “ kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Budaya atau Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan srecara turun temurun (tradisi) dari generasi ke generasi berikutnya melalui sosialisasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Sehingga  Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif masyarakat. Menurut E.B Tylor pengertian kebudayaan yaitu kompleks yang mencakup : pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat, dengan demikian  adat (adat-istiadat) adalah bagian atau unsur dari kebudayaan.
                Adat sebagai unsur dari kebudayaan adalah  kebiasaan yang bersifat normatif . adat dalam pengertian ini berasal dari bahasa arab yaitu adat, sebagai jamak dari kata adah, Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah, yang kemudian diperinci oleh  Prof. Koentjaraningrat dalam  tiga  wujud : pertama  Wujud ideal (cultural system) adalah suatu kompleks dari ide-ide (termasuk gagasan, cita-cita dan pandangan hidup), nilai-nilai budaya, norma-norma, dan hukum, kedua  Wujud aktifitas (social system), Sistem sosial ini terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia yang berinteraksi. Dan ketiga Wujud fisik yang terdiri dari keseluruhan total hasil dari aktifitas atau karya semua manusia dalam masyarakat, yang sifatnya paling konkrit dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto, sementara kedua unsur sebelumnya bersifat abstrak. Kemudian Ernist Cassirer membaginya menjadi lima aspek : 1. Kehidupan Spritual 2. Bahasa dan Kesustraan 3. Kesenian 4. Sejarah 5. Ilmu Pengetahuan. Wujud-wujud di atas terurai dalam kenyataan kehidupan masyarakat dan mengalami proses pelembagaan mulai dari wujud cara (usage),  kebiasaan (folkways),  tata kelakuan (mores), hingga menjadi   adat istiadat (custom) dan tentu tak terpisah satu dengan yang lainnya. Kebudayan ideal atau adat mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya dari manusia. Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup. Tampaklah sudah bahwa adat adalah bagian dari kebudayaan baik  yang berwujud ideal, aktifitas, maupun benda hasil karya (fisik). Adat atau sistem budaya ini adalah yang memberikan pedoman, arah serta menjiwai masyarakat pendukung kebudayaan.
                Samawa  sebagai entitas etnis dan kebudayaan memiliki sejarah panjang, yang secara garis besar di pilah menjadi dua periodesasi yaitu periode pra-Islam (baca animisme,dinamisme, Hindu-Budha), dan pasca Islam. Seperti masyarakat lain di nusantara, maka masyarakat tau samawa juga pernah mengenal keyakinan Animisme dan Dinamisme atau kepercayaan dan bentuk-bentuk ritual penyembahan kepada arwah nenek moyang mereka, percaya pada pohon-pohon besar, tempat-tempat keramat. Konsep-konsep tentang kosmologi dan perlunya menjaga keseimbangan antara dirinya dengan makrokosmos terus diwariskan lintas generasi hingga masuknya kebudayaan Hindu-Budha, bahkan paradaban Islam di Sumbawa kini.
Diperkirakan agama Hindu-Budha telah berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil Sumbawa sekitar dua ratus tahun sebelum invasi Kerajaan Majapahit ke wilayah Sumbawa ini. Kerajaan tersebut  antara lain: Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek (Ropang), Airenung (Moyo Hulu), Awan Kuning di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Gunung Setia (Sumbawa), Dewa Maja Paruwa (Utan), Seran (Seteluk), Taliwang, dan Jereweh. Sunan Prapen yang merupakan keturunan Sunan Giri dari Jawa datang ke Sumbawa untuk menyebarkan Islam pada kerajaan-kerajaan Hindu di Sumbawa, dan terakhir penaklukan Karaeng Moroangang dari Gowa-Sulawesi tahun 1618 atas Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam sehingga menghasilkan sumpah “adat dan rapang Samawa (contoh-contoh kebaikan) tidak akan diganggu gugat sepanjang raja dan rakyatnya menjalankan syariat Islam” yang merujuk pada konsepsi “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah (ABS-SBK). Sejak saat itulah hinga saat ini mayoritas tau Samawa beragama Islam, bahkan sangat mengherankan bila ada orang yang mengaku tau Samawa tidak beragama Islam, sebab pasca penaklukan Kerajaan Hindu Utan oleh  Kerajaan Gowa-Sulawesi proses Islamisasi berlangsung dengan gemilang melalui segala sendi kehidupan,  baik pendidikan,  perkawinan,  bahkan segala bentuk tradisi disesuaikan dengan ajaran Islam. Hal ini tercermin dalam lawas: “Ling dunia pang tu nanam (di dunia tempat menanam),  Pang akhirat pang tu mata’ (di akhirat tempat menuai), Ka tu boat po ya ada (setelah beramal baru memetik hasilnya), Na asi mu samogang (jangan kamu menganggap remeh), Paboat aji ko Nene’ (mengabdi kepada Allah),  Gama krik slamat dunia akhirat (demi keselamatan dunia akhirat)”
ABS-SBK, dipakai sebagai konsepsi berbudaya oleh banyak masyarakat Islam di nusantara, seperti masyarakat Minangkabau, Kota Gorontalo, Kerinci di Sumatera, dan Daeah kita tercinta Samawa, yang memiliki makna “Hukum adat berdasarkan hukum agama, hukum agama berdasarkan Alquran”. Atau Segala wujud adat sebagai unsur kebudayaan seperti  wujud ideal (cultural system), Wujud aktifitas (social system), dan  Wujud fisik harus selalu sejalan dengan konsepsi agama yang berazaskan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Sehingga semenjak munculnya pengaruh agama  Islam, boleh dibilang tau Samawa tidak mengenal unsur-unsur kepercayaan agama lain. Hanya Islamlah yang mampu mempertautkan rasa persaudaraan dan mempersatukan berbagai perbedaan etnik pendatang  yang telah turun-temurun menjadi tau Samawa ini . Oleh karenanya, ungkapan-ungkapan seperti to tegas ano rawi ke? , No soka ungkap bilik ke? , Tempu tama dengan nya ke? , menunjukkan betapa penting arti Islam bagi tau Samawa.
Permasalahan  kini  adakah masyarakat tau  samawa meyadari bahwa dalam beberapa wujud kebudayaan baik wujud ideal , wujud aktifitas, maupun wujud fisik terdapat banyaknya unsur-unsur yang bertentangan dengan syara’ bahkan adakalanya sampai kepada tahap bisa membawa kepada kesyirikan. Hal tersebut sangat lumrah terjadi mengingat adat dan kebudayaan sumbawa terbentuk sebagai hasil proses Difusi, akulturasi maupun asimilasi dari kebudayaan lain di luar entitas tana samawa.  Oleh karena itu menjadi pekerjaan besar bagi kita tau samawa, khususnya pemerintah daerah (Dinas Pariwisata dan kebudayaan), komunitas semacam LATS (lembaga adat tanah samawa), sejarawan, akademisi untuk mereformulasi kembali mana saja yang disebut sebagai Adat Tau Samawa dengan entripoint ABS-SBK. Oleh karena itu adat dan kebiasaan yang tidak sejalan, dan bahkan bertentangan dengan ABS-SBK sebagai hasil akulturasi dan Asimilasi dengan kebudayaan animisme, dinamisme, Hindu-Budha tidak perlu dipertahankan lagi.
Ada banyak contoh adat tau samawa sebagai hasil akulturasi maupun asimilasi dengan kebudayaan Animisme-Dinamisme maupun dengan kebudayaan Hindu-Budha, pertama; wujud ideal (ide-ide, gagasan, cita-cita, pandangan hidup, dan nilai-nilai), seperti tau Samawa mempercayai suara baretik (cecak) dapat membenarkan perkataan seseorang, mendatangkan keberuntungan maupun sebaliknya, bila dalam perjalanan bepergian mereka bertemu orang buta berarti pertanda sial baginya, meyakini bahwa suara burung hantu (piyo keyak) sebagai pertanda akan ada kematian, meyakini adanya hari baik dan hari sial (carik muharam, luang ten), seorang ibu pantang bertemu dengan orang yang cacat fisik karena anaknya takut ketularan, semua itu bertentangan dengan aqidah agama........................?.
Kedua, wujud aktifitas, tau samawa meyakini adanya kekuatan lain (jin/setan) yang mempengaruhi kehidupannya, kesehatannya,  hasil panennya,  sehingga melakukan aktifitas antara lain; antat sri lolo (sesaji pada tempat-tempat keramat), kegiatan basaturin mengantar  hasil panen ke pantai, boa berang (muara sungai), meyakini adanya mahluk halus yang mendatangkan musibah dan penyaki seperti baki, kono, leak sehingga perlu di tangkal dengan upaya menggunakan jimat (azimat) apabila mengalmi kehilangan mendatangi ahli nujum (sandro ramuka), pantang melakukan aktifitas sebelum diadakan upacara manang banta, bagi orang tua yang anaknya baru lahir, bertentangan dengan aqidah.......................
 ketiga wujud fisik kebudayaan berupa benda-benda seperti tempayan, keris, badik, cincin, parang, kre (sarung) yang memiliki tuah dan bisa mendatangkan keuntungan, menyembuhkan bagi pemiliki atau orang lain, dan akan mendatangkan mudharat, penyakit jika tidak di pelihara, jimat untuk  menangkal mahluk hlus, baju/kostum utk kesenian,tarian yang tidak menutup aurat,
Masyarakat Sumbawa yang tinggal di desa-desa umumnya memiliki tempat khusus untuk menyimpan hasil penennya dalam sebuah klompo atau lumbung , jompang yang dibangun berdekatan dengan bangunan rumahnya, sedang bagi tau Samawa yang tidak menyimpan hasil panennya di lumbang, dapat pula memanfaatkan para atau loteng rumahnya, sedangkan untuk peralatan pertaninan ditempatkan di bongan atau kolong pada bagian bawah rumah panggungnya.    
aksara Lontara Aksara Lontara diperkirakan masuk ke Sumbawa ketika berakhirnya masa kekuasaan Kerajaan Hindu di Utan pada awal abad ke-17 Masehi. Aksara ini setelah diadaptasikan dengan kondisi lingkungan Sumbawa, kemudian dikenal dengan nama Satera Jontal atau aksara Kaganga. Pengaruh aksara Lontara dalam aksara Kaganga ini dapat dilihat dari bentuk dan cara menuliskannya yang sama seperti cara mengerjakan aksara Lontara dari sumber asalnya yakni Bugis-Makassar.

kemudian merumuskannya ke dalam konsep yang diyakini dan diwujudkan dalam sikap dan tindakan mereka. Karya-karya sastra Sumbawa kebanyakan menggenggam amanat berupa nasihat yang bertolak pada ajaran pendidikan dan keimanan yang ditopang oleh kuatnya adat-istiadat, seperti yang tertuang dalam bentuk lawas (puisi), ama (peribahasa), panan (teka-teki), dan tuter (dongeng) yang sangat kental dengan pesan moralitas, agama, dan etika pergaulan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar