Senin, 02 September 2013

SERTIFIKASI ?????


SERTIFIKASI, PROFESIONALISME, DAN KESEJAHTERAAN
Antara Harapan dan Kenyataan

Mahfud, SPd

Prefesi guru adalah profesi yang mulia dan sangat penting, sama bahkan lebih penting dari profesi-profesi lainnya semisal. dokter, akuntan, pengacara, psikolog dan lain sebagainya. Jika profesi lainnya dianggap  penting dan mendapatkan apresiasi semacam remunerasi maka profesi inipun telah diberi apresiasi berupa tunjangan sertifikasi.  Kenapa demikian?, tentu karena profesi ini dianggap telah berjasa membuat hidup menjadi  lebih bermakna, mulai dari profesi rendahan sampai dengan profesi tinggi semacam profesional hingga presiden sekalipun, sehingga wajarlah jika John Dewey mengatakan bahwa “pendidikan sebagai profesi guru merupakan proses penghidupan” artinya bukan sekedar proses transformasi pengetahuan, akan tetapi juga terjadi proses pembentukan kepribadian dan ahlak.
Sebegitu sentralnya fungsi seorang guru dalam proses pembangunan sumber daya manusia bangsa ini, ternyata tidak sejalan dengan posisi tawar dan apresiasi yang diterima. Sejarah telah mencatat adanya pelecehan profesi keguruan lewat Hits yang sangat fenomenal “Umar bakrie” hingga “Himne Guru”. Penggambaran profesi yang sedemikian rendah sejalan dengan penghargaan  (gaji) yang rendah, sementara kebutuhan hidup guru dan keluarganya terus meningkat, akibatnya guru mencari obyek tambahan yang bertolak belakang dengan profesinya. Akibatnya sudah  jelas mutu pendidikan akan dikorbankan.
Untuk menghilangkan imej buruk terhadap profesi keguruan, baik yang ditimbulkan oleh fihak lain maupun akibat prilaku guru itu sendiri, maka pemerintah bersama organisasi profesi (PGRI) melakukan upaya untuk meningkatkan profesionalime yang akan berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan seorang guru, dan peningkatan mutu pendidikan, dengan lahirnya UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Agar profesi guru menjadi profesi yang sejajar dalam hal “gengsi” dengan profesi dokter, akuntan, pengacara, psikolg yang tidak lagi dilecehkan. Maka pemerintah mensyaratkan agar seorang guru memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Sehingga layak diberikan sertifikat profesi sebagai tenaga professional dan tentu berimplikasi pada peningkatan finansial (gaji) yang cukup signifikan. Pasal 16 ayat 1 UU No. 14 tahun 2005 menjelaskan bahwa Guru yang telah memiliki sertifikat pendidik berhak mendapatkan tunjangan profesi dari pemerintah, kemudian ayat 2 menjelaskan bahwa tunjangan sama dengan satu kali gaji pokok yang diperoleh guru setiap bulannya. Dan kebijakan tersebut diperkuat lagi dengan penjelasan pasal 6 ayat 1,  2, dan 3. Permendiknas RI nomor 18 tahun 2007.
Kebijakan tersebut serta merta disambut sangat antusias oleh guru, ibarat oase di tengah padang pasir. Harapannya tentu adanya penghargaan terhadap profesi, peningkatan kesejahteraan. Sehingga guru di seantero pelosok negeri ini termotivasi untuk mengikuti kegiatan seleksi, portopolio, PLPG, UKA, UKG tentu dengan satu harapan peningkatan profesionalime dengan implikasi peningkatan kesejahteraan. Dan bukan sampai di sini saja implikasinya adalah LPTK menjadi ramai peminat, membludak, tidak lagi  menjadi jurusan nomor terpaksa, tapi mampu mensejajarkan diri dengan jurusan ekonomi, psikologi, akuntan, tehnik bahkan kedokteran. Namun kenyataan berkata lain, tujuh tahun kapal sertifikasi telah berlayar membawa harapan besar para guru di negeri ini. Dalam perjalanannya  memunculkan banyak masalah yang tentunya guru menjad fihak yang dirugikan. Sementara Pemerintah (Mendiknas) sebagai kesyahbandaran, dan PGRI sebagai kapten  kapal menutup mata dan telinga terhadap begitu banyak jeritan (masalah) penumpang kapal (baca guru).
Permasalahan yang timbul sangat terkait dengan hak (kesejahteraan) guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik dan diakui UU terkatung-katung. Apabila kita menyimak cerita, keluhan langsung dari para guru, informasi baik media cetak maupun online maka dapat disarikan permasalahan tersebut antara lain: (1) pencairan tunjangan yang selalu terlambat, dan tidak tepat waktu, seperti contoh tahun ini (2013) pencairan  tunjangan triwulan pertama (januari,pebruari, maret,) pada bulan Mei, dan pencairan triwulan kedua (april, mei juni) pada minggu ke tiga bulan agustus. Padalah guru sudah melaksanakan kewajibannya selama 8 bulan, dan tentunya mereka semua memiliki beban tanggung jawab terhadap profesonalismenya, kesejahteraan keluarganya, pendidikan anak-anaknya yang tentunya setiap bulan membutuhkan dana, sehingga banyak guru mengatasi hal tersebut dengan cara berhutang, (2). Pencarian tunjangan yang kadang-kadang tidak lengkap dua belas bulan, (3). Pencairan dana yang tidak merata, terhadap guru yang sudah memiliki sertifikat profesi. Karena ada guru yang sudah menerima, tapi ada juga yang belum dengan berbagai problem yang mestinya sudah bisa teratasi mengingat perjalanan kapal sertifikasi yang kurang lebih tujuh tahun, (4). Rumitnya birokrasi pencairan dengan berbagai aturan, tandatangan, terutama dirasakan oleh guru yang bertugas di pelosok dan harus meninggalkan tugas untuk melengkapi berbagai syarat pencairan di ibukota kabupaten, (5). Tidak jelasnya birokrasi sertifikasi dimata para guru, dalam melakukan pengurusan terhadap berbagai masalah yang timbul terkait pencairan dana sertifikasi, karena pemerintah pusat dan daerah selalu saling menyalahkan, (5). Tidak berjalannya fungsi organisasi profesi (PGRI), buktinya dari tahun ke tahun selalu saja ada keluhan guru terkait pencairan tunjangan sertifikasi, dan belum dirasakan ada tindakan aktual dari organisasi untuk mengatasi permasalahn tersebut.
Lalu bagaimanakan  solusi  yang tepat untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut ?. tentu pemerintah sebagai pemegang otoritas utama dalam hal ini memegang peranan penting untuk meningkatkan kepedulian terhadap pelayanan aparaturnya khususnya guru, kemudian PGRI sebagai organisasi yang memayungi profesi ini harus betul-betul meningkatkan kepeduliannya, terhadap apapun yang menjadi keluhan, dan problem pendidikan dan pengajaran yang dihadapi oleh para guru di negeri ini. Kemudian tidak kalah pentingnya adalah peran dan  kepedulian anggota DPR baik pusat maupun daerah agar tidak lagi menuggu guru baik atas nama organisasi maupun pribadi, tapi segera tanggap terhadap segala situasi yang berkembang untuk menggelar pertemuan dengan fihak pemerintah dengan organisasi profesi untuk segera menemukan solusi yang tepat, agar konsentrasi guru tidak lagi terpecah kepada banyak hal, tapi hanya focus pada tugas utamanya,  karena bila tidak segera diatasi maka akan berimplikasi terhadap mutu, baik mutu pendidikan yang dikelolanya, mutu siswa yang di ajarnya, mutu diri dan kelurganya, maupun mutu masyarakat sosial yang ada di sekitanya. Wallahu.