Rabu, 04 September 2013
Senin, 02 September 2013
SERTIFIKASI ?????
SERTIFIKASI, PROFESIONALISME, DAN KESEJAHTERAAN
Antara Harapan dan Kenyataan
Mahfud, SPd
Prefesi
guru adalah profesi yang mulia dan sangat penting, sama bahkan lebih penting
dari profesi-profesi lainnya semisal. dokter, akuntan, pengacara, psikolog dan
lain sebagainya. Jika profesi lainnya dianggap
penting dan mendapatkan apresiasi semacam remunerasi maka profesi inipun
telah diberi apresiasi berupa tunjangan sertifikasi. Kenapa demikian?, tentu karena profesi ini
dianggap telah berjasa membuat hidup menjadi
lebih bermakna, mulai dari profesi rendahan sampai dengan profesi tinggi
semacam profesional hingga presiden sekalipun, sehingga wajarlah jika John
Dewey mengatakan bahwa “pendidikan sebagai profesi guru merupakan proses penghidupan”
artinya bukan sekedar proses transformasi pengetahuan, akan tetapi juga terjadi
proses pembentukan kepribadian dan ahlak.
Sebegitu
sentralnya fungsi seorang guru dalam proses pembangunan sumber daya manusia
bangsa ini, ternyata tidak sejalan dengan posisi tawar dan apresiasi yang
diterima. Sejarah telah mencatat adanya pelecehan profesi keguruan lewat Hits
yang sangat fenomenal “Umar bakrie” hingga “Himne Guru”. Penggambaran profesi
yang sedemikian rendah sejalan dengan penghargaan (gaji) yang rendah, sementara kebutuhan hidup
guru dan keluarganya terus meningkat, akibatnya guru mencari obyek tambahan
yang bertolak belakang dengan profesinya. Akibatnya sudah jelas mutu pendidikan akan dikorbankan.
Untuk
menghilangkan imej buruk terhadap profesi keguruan, baik yang ditimbulkan oleh
fihak lain maupun akibat prilaku guru itu sendiri, maka pemerintah bersama
organisasi profesi (PGRI) melakukan upaya untuk meningkatkan profesionalime
yang akan berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan seorang guru, dan
peningkatan mutu pendidikan, dengan lahirnya UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen. Agar profesi guru menjadi profesi yang sejajar dalam hal “gengsi”
dengan profesi dokter, akuntan, pengacara, psikolg yang tidak lagi dilecehkan.
Maka pemerintah mensyaratkan agar seorang guru memiliki kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang
diperoleh melalui pendidikan profesi. Sehingga layak diberikan sertifikat
profesi sebagai tenaga professional dan tentu berimplikasi pada peningkatan
finansial (gaji) yang cukup signifikan. Pasal 16 ayat 1 UU No. 14 tahun 2005
menjelaskan bahwa Guru yang telah memiliki sertifikat pendidik berhak
mendapatkan tunjangan profesi dari pemerintah, kemudian ayat 2 menjelaskan
bahwa tunjangan sama dengan satu kali gaji pokok yang diperoleh guru setiap
bulannya. Dan kebijakan tersebut diperkuat lagi dengan penjelasan pasal 6 ayat
1, 2, dan 3. Permendiknas RI nomor 18
tahun 2007.
Kebijakan
tersebut serta merta disambut sangat antusias oleh guru, ibarat oase di tengah
padang pasir. Harapannya tentu adanya penghargaan terhadap profesi, peningkatan
kesejahteraan. Sehingga guru di seantero pelosok negeri ini termotivasi untuk
mengikuti kegiatan seleksi, portopolio, PLPG, UKA, UKG tentu dengan satu
harapan peningkatan profesionalime dengan implikasi peningkatan kesejahteraan. Dan
bukan sampai di sini saja implikasinya adalah LPTK menjadi ramai peminat,
membludak, tidak lagi menjadi jurusan
nomor terpaksa, tapi mampu mensejajarkan diri dengan jurusan ekonomi,
psikologi, akuntan, tehnik bahkan kedokteran. Namun kenyataan berkata lain,
tujuh tahun kapal sertifikasi telah berlayar membawa harapan besar para guru di
negeri ini. Dalam perjalanannya
memunculkan banyak masalah yang tentunya guru menjad fihak yang dirugikan.
Sementara Pemerintah (Mendiknas) sebagai kesyahbandaran, dan PGRI sebagai
kapten kapal menutup mata dan telinga
terhadap begitu banyak jeritan (masalah) penumpang kapal (baca guru).
Permasalahan
yang timbul sangat terkait dengan hak (kesejahteraan) guru yang sudah memiliki
sertifikat pendidik dan diakui UU terkatung-katung. Apabila kita menyimak cerita,
keluhan langsung dari para guru, informasi baik media cetak maupun online maka
dapat disarikan permasalahan tersebut antara lain: (1) pencairan tunjangan yang
selalu terlambat, dan tidak tepat waktu, seperti contoh tahun ini (2013)
pencairan tunjangan triwulan pertama
(januari,pebruari, maret,) pada bulan Mei, dan pencairan triwulan kedua (april,
mei juni) pada minggu ke tiga bulan agustus. Padalah guru sudah melaksanakan
kewajibannya selama 8 bulan, dan tentunya mereka semua memiliki beban tanggung
jawab terhadap profesonalismenya, kesejahteraan keluarganya, pendidikan
anak-anaknya yang tentunya setiap bulan membutuhkan dana, sehingga banyak guru mengatasi
hal tersebut dengan cara berhutang, (2). Pencarian tunjangan yang kadang-kadang
tidak lengkap dua belas bulan, (3). Pencairan dana yang tidak merata, terhadap
guru yang sudah memiliki sertifikat profesi. Karena ada guru yang sudah
menerima, tapi ada juga yang belum dengan berbagai problem yang mestinya sudah
bisa teratasi mengingat perjalanan kapal sertifikasi yang kurang lebih tujuh
tahun, (4). Rumitnya birokrasi pencairan dengan berbagai aturan, tandatangan,
terutama dirasakan oleh guru yang bertugas di pelosok dan harus meninggalkan
tugas untuk melengkapi berbagai syarat pencairan di ibukota kabupaten, (5). Tidak
jelasnya birokrasi sertifikasi dimata para guru, dalam melakukan pengurusan
terhadap berbagai masalah yang timbul terkait pencairan dana sertifikasi,
karena pemerintah pusat dan daerah selalu saling menyalahkan, (5). Tidak
berjalannya fungsi organisasi profesi (PGRI), buktinya dari tahun ke tahun
selalu saja ada keluhan guru terkait pencairan tunjangan sertifikasi, dan belum
dirasakan ada tindakan aktual dari organisasi untuk mengatasi permasalahn
tersebut.
Lalu
bagaimanakan solusi yang tepat untuk mengatasi berbagai
permasalahan tersebut ?. tentu pemerintah sebagai pemegang otoritas utama dalam
hal ini memegang peranan penting untuk meningkatkan kepedulian terhadap
pelayanan aparaturnya khususnya guru, kemudian PGRI sebagai organisasi yang
memayungi profesi ini harus betul-betul meningkatkan kepeduliannya, terhadap
apapun yang menjadi keluhan, dan problem pendidikan dan pengajaran yang
dihadapi oleh para guru di negeri ini. Kemudian tidak kalah pentingnya adalah
peran dan kepedulian anggota DPR baik
pusat maupun daerah agar tidak lagi menuggu guru baik atas nama organisasi
maupun pribadi, tapi segera tanggap terhadap segala situasi yang berkembang
untuk menggelar pertemuan dengan fihak pemerintah dengan organisasi profesi
untuk segera menemukan solusi yang tepat, agar konsentrasi guru tidak lagi
terpecah kepada banyak hal, tapi hanya focus pada tugas utamanya, karena bila tidak segera diatasi maka akan
berimplikasi terhadap mutu, baik mutu pendidikan yang dikelolanya, mutu siswa
yang di ajarnya, mutu diri dan kelurganya, maupun mutu masyarakat sosial yang
ada di sekitanya. Wallahu.
Langganan:
Postingan (Atom)