MEREKONSTRUKSI ADAT
BERSENDIKAN SYARA, SYARA BERSENDIKAN
KITABULLAH SEBAGAI ENTRI POIN BERBUDAYA DI TANA SAMAWA
Oleh : Mahfud S,Pd
& Haqqul Amin S.Pd
Budaya adalah pikiran, akal budi, adat istiadat.
Sedang “ kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi )
manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Budaya atau
Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan srecara turun temurun (tradisi) dari
generasi ke generasi berikutnya melalui sosialisasi. Budaya terbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Sehingga Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh.
budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut
menentukan perilaku komunikatif masyarakat. Menurut E.B Tylor pengertian
kebudayaan yaitu kompleks yang mencakup : pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat, dengan
demikian adat (adat-istiadat) adalah
bagian atau unsur dari kebudayaan.
Adat
sebagai unsur dari kebudayaan adalah
kebiasaan yang bersifat normatif . adat dalam pengertian ini berasal
dari bahasa arab yaitu adat, sebagai jamak dari kata adah, Adat adalah gagasan
kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan,
kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah, yang kemudian
diperinci oleh Prof. Koentjaraningrat
dalam tiga wujud : pertama Wujud ideal (cultural system) adalah suatu kompleks dari ide-ide (termasuk gagasan,
cita-cita dan pandangan hidup), nilai-nilai budaya, norma-norma, dan hukum,
kedua Wujud aktifitas (social system), Sistem sosial ini
terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia yang berinteraksi. Dan ketiga Wujud
fisik yang terdiri dari keseluruhan total hasil dari aktifitas atau karya semua
manusia dalam masyarakat, yang sifatnya paling konkrit dan berupa benda-benda
atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto, sementara kedua unsur
sebelumnya bersifat abstrak. Kemudian Ernist Cassirer membaginya menjadi lima
aspek : 1. Kehidupan Spritual 2. Bahasa dan Kesustraan 3. Kesenian 4. Sejarah
5. Ilmu Pengetahuan. Wujud-wujud di atas terurai dalam kenyataan kehidupan
masyarakat dan mengalami proses pelembagaan mulai dari wujud cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), hingga menjadi adat
istiadat (custom) dan tentu tak
terpisah satu dengan yang lainnya. Kebudayan ideal atau adat mengatur dan
memberi arah kepada tindakan dan karya dari manusia. Sebaliknya kebudayaan
fisik membentuk suatu lingkungan hidup. Tampaklah sudah bahwa adat adalah
bagian dari kebudayaan baik yang
berwujud ideal, aktifitas, maupun benda hasil karya (fisik). Adat atau sistem
budaya ini adalah yang memberikan pedoman, arah serta menjiwai masyarakat
pendukung kebudayaan.
Samawa
sebagai entitas etnis dan kebudayaan
memiliki sejarah panjang, yang secara garis besar di pilah menjadi dua periodesasi
yaitu periode pra-Islam (baca animisme,dinamisme, Hindu-Budha), dan pasca
Islam. Seperti masyarakat lain di nusantara, maka masyarakat tau samawa juga pernah mengenal
keyakinan Animisme dan Dinamisme atau kepercayaan dan bentuk-bentuk ritual
penyembahan kepada arwah nenek moyang mereka, percaya pada pohon-pohon besar,
tempat-tempat keramat. Konsep-konsep tentang kosmologi dan perlunya menjaga
keseimbangan antara dirinya dengan makrokosmos terus diwariskan lintas generasi
hingga masuknya kebudayaan Hindu-Budha, bahkan paradaban Islam di Sumbawa kini.
Diperkirakan
agama Hindu-Budha telah berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil Sumbawa
sekitar dua ratus tahun sebelum invasi Kerajaan Majapahit ke wilayah Sumbawa
ini. Kerajaan tersebut antara lain:
Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek (Ropang), Airenung (Moyo Hulu), Awan Kuning
di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Gunung Setia (Sumbawa), Dewa Maja Paruwa (Utan),
Seran (Seteluk), Taliwang, dan Jereweh. Sunan Prapen yang merupakan keturunan
Sunan Giri dari Jawa datang ke Sumbawa untuk menyebarkan Islam pada
kerajaan-kerajaan Hindu di Sumbawa, dan terakhir penaklukan Karaeng Moroangang
dari Gowa-Sulawesi tahun 1618 atas Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai
kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam sehingga menghasilkan sumpah “adat
dan rapang Samawa (contoh-contoh
kebaikan) tidak akan diganggu gugat sepanjang raja dan rakyatnya menjalankan
syariat Islam” yang merujuk pada konsepsi “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan
kitabullah (ABS-SBK). Sejak saat itulah hinga saat ini mayoritas tau Samawa beragama Islam, bahkan sangat
mengherankan bila ada orang yang mengaku tau
Samawa tidak beragama Islam, sebab pasca penaklukan Kerajaan Hindu Utan oleh
Kerajaan Gowa-Sulawesi proses Islamisasi
berlangsung dengan gemilang melalui segala sendi kehidupan, baik pendidikan, perkawinan, bahkan segala bentuk tradisi disesuaikan
dengan ajaran Islam. Hal ini tercermin dalam lawas: “Ling dunia pang tu nanam (di dunia tempat menanam), Pang
akhirat pang tu mata’ (di akhirat tempat menuai), Ka tu boat po ya ada (setelah beramal baru memetik hasilnya), Na asi mu samogang (jangan kamu
menganggap remeh), Paboat aji ko Nene’
(mengabdi kepada Allah), Gama krik slamat dunia akhirat (demi
keselamatan dunia akhirat)”
ABS-SBK,
dipakai sebagai konsepsi berbudaya oleh banyak masyarakat Islam di nusantara,
seperti masyarakat Minangkabau, Kota Gorontalo, Kerinci di Sumatera, dan Daeah
kita tercinta Samawa, yang memiliki
makna “Hukum adat berdasarkan hukum agama, hukum agama berdasarkan Alquran”.
Atau Segala wujud adat sebagai unsur kebudayaan seperti wujud ideal (cultural system), Wujud aktifitas (social system), dan Wujud
fisik harus selalu sejalan dengan konsepsi agama yang berazaskan Al-Qur’an dan
Al-Hadist. Sehingga semenjak munculnya pengaruh agama Islam, boleh dibilang tau Samawa tidak mengenal unsur-unsur kepercayaan agama lain. Hanya
Islamlah yang mampu mempertautkan rasa persaudaraan dan mempersatukan berbagai
perbedaan etnik pendatang yang telah
turun-temurun menjadi tau Samawa ini . Oleh karenanya, ungkapan-ungkapan
seperti to tegas ano rawi ke? , No soka ungkap bilik ke? , Tempu tama dengan nya ke? , menunjukkan
betapa penting arti Islam bagi tau Samawa.
Permasalahan kini adakah
masyarakat tau samawa
meyadari bahwa dalam beberapa wujud kebudayaan baik wujud ideal , wujud
aktifitas, maupun wujud fisik terdapat banyaknya unsur-unsur yang bertentangan
dengan syara’ bahkan adakalanya sampai kepada tahap bisa membawa kepada kesyirikan.
Hal tersebut sangat lumrah terjadi mengingat adat dan kebudayaan sumbawa
terbentuk sebagai hasil proses Difusi, akulturasi maupun asimilasi dari
kebudayaan lain di luar entitas tana
samawa. Oleh karena itu menjadi
pekerjaan besar bagi kita tau samawa,
khususnya pemerintah daerah (Dinas Pariwisata dan kebudayaan), komunitas
semacam LATS (lembaga adat tanah samawa), sejarawan, akademisi untuk
mereformulasi kembali mana saja yang disebut sebagai Adat Tau Samawa dengan entripoint ABS-SBK. Oleh karena itu adat dan
kebiasaan yang tidak sejalan, dan bahkan bertentangan dengan ABS-SBK sebagai
hasil akulturasi dan Asimilasi dengan kebudayaan animisme, dinamisme,
Hindu-Budha tidak perlu dipertahankan lagi.
Ada banyak
contoh adat tau samawa sebagai hasil
akulturasi maupun asimilasi dengan kebudayaan Animisme-Dinamisme maupun dengan
kebudayaan Hindu-Budha, pertama; wujud ideal (ide-ide, gagasan, cita-cita,
pandangan hidup, dan nilai-nilai), seperti tau
Samawa mempercayai suara baretik
(cecak) dapat membenarkan perkataan seseorang, mendatangkan keberuntungan
maupun sebaliknya, bila dalam perjalanan bepergian mereka bertemu orang buta
berarti pertanda sial baginya, meyakini bahwa suara burung hantu (piyo keyak) sebagai pertanda akan ada
kematian, meyakini adanya hari baik dan hari sial (carik muharam, luang ten), seorang ibu pantang bertemu dengan orang
yang cacat fisik karena anaknya takut ketularan, semua itu bertentangan dengan
aqidah agama........................?.
Kedua, wujud
aktifitas, tau samawa meyakini adanya kekuatan lain (jin/setan) yang
mempengaruhi kehidupannya, kesehatannya,
hasil panennya, sehingga
melakukan aktifitas antara lain; antat
sri lolo (sesaji pada tempat-tempat keramat), kegiatan basaturin mengantar hasil panen
ke pantai, boa berang (muara sungai),
meyakini adanya mahluk halus yang mendatangkan musibah dan penyaki seperti
baki, kono, leak sehingga perlu di tangkal dengan upaya menggunakan jimat (azimat) apabila mengalmi
kehilangan mendatangi ahli nujum (sandro
ramuka), pantang melakukan aktifitas sebelum diadakan upacara manang banta, bagi orang tua yang
anaknya baru lahir, bertentangan dengan aqidah.......................
ketiga wujud fisik kebudayaan berupa
benda-benda seperti tempayan, keris, badik, cincin, parang, kre (sarung) yang memiliki tuah dan bisa
mendatangkan keuntungan, menyembuhkan bagi pemiliki atau orang lain, dan akan
mendatangkan mudharat, penyakit jika tidak di pelihara, jimat untuk menangkal mahluk hlus, baju/kostum utk
kesenian,tarian yang tidak menutup aurat,
Masyarakat Sumbawa yang tinggal
di desa-desa umumnya memiliki tempat khusus untuk menyimpan hasil penennya
dalam sebuah klompo atau lumbung , jompang yang dibangun berdekatan dengan
bangunan rumahnya, sedang bagi tau Samawa yang tidak menyimpan hasil panennya
di lumbang, dapat pula memanfaatkan para atau loteng rumahnya, sedangkan untuk
peralatan pertaninan ditempatkan di bongan atau kolong pada bagian bawah rumah
panggungnya.
aksara Lontara Aksara Lontara diperkirakan masuk ke Sumbawa
ketika berakhirnya masa kekuasaan Kerajaan Hindu di Utan pada awal abad ke-17
Masehi. Aksara ini setelah diadaptasikan dengan kondisi lingkungan Sumbawa,
kemudian dikenal dengan nama Satera Jontal atau aksara Kaganga. Pengaruh aksara
Lontara dalam aksara Kaganga ini dapat dilihat dari bentuk dan cara menuliskannya
yang sama seperti cara mengerjakan aksara Lontara dari sumber asalnya yakni
Bugis-Makassar.
kemudian merumuskannya ke dalam konsep yang diyakini dan
diwujudkan dalam sikap dan tindakan mereka. Karya-karya sastra Sumbawa
kebanyakan menggenggam amanat berupa nasihat yang bertolak pada ajaran
pendidikan dan keimanan yang ditopang oleh kuatnya adat-istiadat, seperti yang
tertuang dalam bentuk lawas (puisi), ama (peribahasa), panan (teka-teki), dan
tuter (dongeng) yang sangat kental dengan pesan moralitas, agama, dan etika
pergaulan hidup.