Selasa, 24 September 2013

artikel adat samawa

MEREKONSTRUKSI ADAT BERSENDIKAN SYARA,  SYARA BERSENDIKAN KITABULLAH SEBAGAI ENTRI POIN BERBUDAYA DI TANA SAMAWA

Oleh : Mahfud S,Pd & Haqqul Amin S.Pd


                Budaya  adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “ kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Budaya atau Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan srecara turun temurun (tradisi) dari generasi ke generasi berikutnya melalui sosialisasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Sehingga  Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif masyarakat. Menurut E.B Tylor pengertian kebudayaan yaitu kompleks yang mencakup : pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat, dengan demikian  adat (adat-istiadat) adalah bagian atau unsur dari kebudayaan.
                Adat sebagai unsur dari kebudayaan adalah  kebiasaan yang bersifat normatif . adat dalam pengertian ini berasal dari bahasa arab yaitu adat, sebagai jamak dari kata adah, Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah, yang kemudian diperinci oleh  Prof. Koentjaraningrat dalam  tiga  wujud : pertama  Wujud ideal (cultural system) adalah suatu kompleks dari ide-ide (termasuk gagasan, cita-cita dan pandangan hidup), nilai-nilai budaya, norma-norma, dan hukum, kedua  Wujud aktifitas (social system), Sistem sosial ini terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia yang berinteraksi. Dan ketiga Wujud fisik yang terdiri dari keseluruhan total hasil dari aktifitas atau karya semua manusia dalam masyarakat, yang sifatnya paling konkrit dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto, sementara kedua unsur sebelumnya bersifat abstrak. Kemudian Ernist Cassirer membaginya menjadi lima aspek : 1. Kehidupan Spritual 2. Bahasa dan Kesustraan 3. Kesenian 4. Sejarah 5. Ilmu Pengetahuan. Wujud-wujud di atas terurai dalam kenyataan kehidupan masyarakat dan mengalami proses pelembagaan mulai dari wujud cara (usage),  kebiasaan (folkways),  tata kelakuan (mores), hingga menjadi   adat istiadat (custom) dan tentu tak terpisah satu dengan yang lainnya. Kebudayan ideal atau adat mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya dari manusia. Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup. Tampaklah sudah bahwa adat adalah bagian dari kebudayaan baik  yang berwujud ideal, aktifitas, maupun benda hasil karya (fisik). Adat atau sistem budaya ini adalah yang memberikan pedoman, arah serta menjiwai masyarakat pendukung kebudayaan.
                Samawa  sebagai entitas etnis dan kebudayaan memiliki sejarah panjang, yang secara garis besar di pilah menjadi dua periodesasi yaitu periode pra-Islam (baca animisme,dinamisme, Hindu-Budha), dan pasca Islam. Seperti masyarakat lain di nusantara, maka masyarakat tau samawa juga pernah mengenal keyakinan Animisme dan Dinamisme atau kepercayaan dan bentuk-bentuk ritual penyembahan kepada arwah nenek moyang mereka, percaya pada pohon-pohon besar, tempat-tempat keramat. Konsep-konsep tentang kosmologi dan perlunya menjaga keseimbangan antara dirinya dengan makrokosmos terus diwariskan lintas generasi hingga masuknya kebudayaan Hindu-Budha, bahkan paradaban Islam di Sumbawa kini.
Diperkirakan agama Hindu-Budha telah berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil Sumbawa sekitar dua ratus tahun sebelum invasi Kerajaan Majapahit ke wilayah Sumbawa ini. Kerajaan tersebut  antara lain: Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek (Ropang), Airenung (Moyo Hulu), Awan Kuning di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Gunung Setia (Sumbawa), Dewa Maja Paruwa (Utan), Seran (Seteluk), Taliwang, dan Jereweh. Sunan Prapen yang merupakan keturunan Sunan Giri dari Jawa datang ke Sumbawa untuk menyebarkan Islam pada kerajaan-kerajaan Hindu di Sumbawa, dan terakhir penaklukan Karaeng Moroangang dari Gowa-Sulawesi tahun 1618 atas Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam sehingga menghasilkan sumpah “adat dan rapang Samawa (contoh-contoh kebaikan) tidak akan diganggu gugat sepanjang raja dan rakyatnya menjalankan syariat Islam” yang merujuk pada konsepsi “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah (ABS-SBK). Sejak saat itulah hinga saat ini mayoritas tau Samawa beragama Islam, bahkan sangat mengherankan bila ada orang yang mengaku tau Samawa tidak beragama Islam, sebab pasca penaklukan Kerajaan Hindu Utan oleh  Kerajaan Gowa-Sulawesi proses Islamisasi berlangsung dengan gemilang melalui segala sendi kehidupan,  baik pendidikan,  perkawinan,  bahkan segala bentuk tradisi disesuaikan dengan ajaran Islam. Hal ini tercermin dalam lawas: “Ling dunia pang tu nanam (di dunia tempat menanam),  Pang akhirat pang tu mata’ (di akhirat tempat menuai), Ka tu boat po ya ada (setelah beramal baru memetik hasilnya), Na asi mu samogang (jangan kamu menganggap remeh), Paboat aji ko Nene’ (mengabdi kepada Allah),  Gama krik slamat dunia akhirat (demi keselamatan dunia akhirat)”
ABS-SBK, dipakai sebagai konsepsi berbudaya oleh banyak masyarakat Islam di nusantara, seperti masyarakat Minangkabau, Kota Gorontalo, Kerinci di Sumatera, dan Daeah kita tercinta Samawa, yang memiliki makna “Hukum adat berdasarkan hukum agama, hukum agama berdasarkan Alquran”. Atau Segala wujud adat sebagai unsur kebudayaan seperti  wujud ideal (cultural system), Wujud aktifitas (social system), dan  Wujud fisik harus selalu sejalan dengan konsepsi agama yang berazaskan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Sehingga semenjak munculnya pengaruh agama  Islam, boleh dibilang tau Samawa tidak mengenal unsur-unsur kepercayaan agama lain. Hanya Islamlah yang mampu mempertautkan rasa persaudaraan dan mempersatukan berbagai perbedaan etnik pendatang  yang telah turun-temurun menjadi tau Samawa ini . Oleh karenanya, ungkapan-ungkapan seperti to tegas ano rawi ke? , No soka ungkap bilik ke? , Tempu tama dengan nya ke? , menunjukkan betapa penting arti Islam bagi tau Samawa.
Permasalahan  kini  adakah masyarakat tau  samawa meyadari bahwa dalam beberapa wujud kebudayaan baik wujud ideal , wujud aktifitas, maupun wujud fisik terdapat banyaknya unsur-unsur yang bertentangan dengan syara’ bahkan adakalanya sampai kepada tahap bisa membawa kepada kesyirikan. Hal tersebut sangat lumrah terjadi mengingat adat dan kebudayaan sumbawa terbentuk sebagai hasil proses Difusi, akulturasi maupun asimilasi dari kebudayaan lain di luar entitas tana samawa.  Oleh karena itu menjadi pekerjaan besar bagi kita tau samawa, khususnya pemerintah daerah (Dinas Pariwisata dan kebudayaan), komunitas semacam LATS (lembaga adat tanah samawa), sejarawan, akademisi untuk mereformulasi kembali mana saja yang disebut sebagai Adat Tau Samawa dengan entripoint ABS-SBK. Oleh karena itu adat dan kebiasaan yang tidak sejalan, dan bahkan bertentangan dengan ABS-SBK sebagai hasil akulturasi dan Asimilasi dengan kebudayaan animisme, dinamisme, Hindu-Budha tidak perlu dipertahankan lagi.
Ada banyak contoh adat tau samawa sebagai hasil akulturasi maupun asimilasi dengan kebudayaan Animisme-Dinamisme maupun dengan kebudayaan Hindu-Budha, pertama; wujud ideal (ide-ide, gagasan, cita-cita, pandangan hidup, dan nilai-nilai), seperti tau Samawa mempercayai suara baretik (cecak) dapat membenarkan perkataan seseorang, mendatangkan keberuntungan maupun sebaliknya, bila dalam perjalanan bepergian mereka bertemu orang buta berarti pertanda sial baginya, meyakini bahwa suara burung hantu (piyo keyak) sebagai pertanda akan ada kematian, meyakini adanya hari baik dan hari sial (carik muharam, luang ten), seorang ibu pantang bertemu dengan orang yang cacat fisik karena anaknya takut ketularan, semua itu bertentangan dengan aqidah agama........................?.
Kedua, wujud aktifitas, tau samawa meyakini adanya kekuatan lain (jin/setan) yang mempengaruhi kehidupannya, kesehatannya,  hasil panennya,  sehingga melakukan aktifitas antara lain; antat sri lolo (sesaji pada tempat-tempat keramat), kegiatan basaturin mengantar  hasil panen ke pantai, boa berang (muara sungai), meyakini adanya mahluk halus yang mendatangkan musibah dan penyaki seperti baki, kono, leak sehingga perlu di tangkal dengan upaya menggunakan jimat (azimat) apabila mengalmi kehilangan mendatangi ahli nujum (sandro ramuka), pantang melakukan aktifitas sebelum diadakan upacara manang banta, bagi orang tua yang anaknya baru lahir, bertentangan dengan aqidah.......................
 ketiga wujud fisik kebudayaan berupa benda-benda seperti tempayan, keris, badik, cincin, parang, kre (sarung) yang memiliki tuah dan bisa mendatangkan keuntungan, menyembuhkan bagi pemiliki atau orang lain, dan akan mendatangkan mudharat, penyakit jika tidak di pelihara, jimat untuk  menangkal mahluk hlus, baju/kostum utk kesenian,tarian yang tidak menutup aurat,
Masyarakat Sumbawa yang tinggal di desa-desa umumnya memiliki tempat khusus untuk menyimpan hasil penennya dalam sebuah klompo atau lumbung , jompang yang dibangun berdekatan dengan bangunan rumahnya, sedang bagi tau Samawa yang tidak menyimpan hasil panennya di lumbang, dapat pula memanfaatkan para atau loteng rumahnya, sedangkan untuk peralatan pertaninan ditempatkan di bongan atau kolong pada bagian bawah rumah panggungnya.    
aksara Lontara Aksara Lontara diperkirakan masuk ke Sumbawa ketika berakhirnya masa kekuasaan Kerajaan Hindu di Utan pada awal abad ke-17 Masehi. Aksara ini setelah diadaptasikan dengan kondisi lingkungan Sumbawa, kemudian dikenal dengan nama Satera Jontal atau aksara Kaganga. Pengaruh aksara Lontara dalam aksara Kaganga ini dapat dilihat dari bentuk dan cara menuliskannya yang sama seperti cara mengerjakan aksara Lontara dari sumber asalnya yakni Bugis-Makassar.

kemudian merumuskannya ke dalam konsep yang diyakini dan diwujudkan dalam sikap dan tindakan mereka. Karya-karya sastra Sumbawa kebanyakan menggenggam amanat berupa nasihat yang bertolak pada ajaran pendidikan dan keimanan yang ditopang oleh kuatnya adat-istiadat, seperti yang tertuang dalam bentuk lawas (puisi), ama (peribahasa), panan (teka-teki), dan tuter (dongeng) yang sangat kental dengan pesan moralitas, agama, dan etika pergaulan hidup.

Senin, 02 September 2013

SERTIFIKASI ?????


SERTIFIKASI, PROFESIONALISME, DAN KESEJAHTERAAN
Antara Harapan dan Kenyataan

Mahfud, SPd

Prefesi guru adalah profesi yang mulia dan sangat penting, sama bahkan lebih penting dari profesi-profesi lainnya semisal. dokter, akuntan, pengacara, psikolog dan lain sebagainya. Jika profesi lainnya dianggap  penting dan mendapatkan apresiasi semacam remunerasi maka profesi inipun telah diberi apresiasi berupa tunjangan sertifikasi.  Kenapa demikian?, tentu karena profesi ini dianggap telah berjasa membuat hidup menjadi  lebih bermakna, mulai dari profesi rendahan sampai dengan profesi tinggi semacam profesional hingga presiden sekalipun, sehingga wajarlah jika John Dewey mengatakan bahwa “pendidikan sebagai profesi guru merupakan proses penghidupan” artinya bukan sekedar proses transformasi pengetahuan, akan tetapi juga terjadi proses pembentukan kepribadian dan ahlak.
Sebegitu sentralnya fungsi seorang guru dalam proses pembangunan sumber daya manusia bangsa ini, ternyata tidak sejalan dengan posisi tawar dan apresiasi yang diterima. Sejarah telah mencatat adanya pelecehan profesi keguruan lewat Hits yang sangat fenomenal “Umar bakrie” hingga “Himne Guru”. Penggambaran profesi yang sedemikian rendah sejalan dengan penghargaan  (gaji) yang rendah, sementara kebutuhan hidup guru dan keluarganya terus meningkat, akibatnya guru mencari obyek tambahan yang bertolak belakang dengan profesinya. Akibatnya sudah  jelas mutu pendidikan akan dikorbankan.
Untuk menghilangkan imej buruk terhadap profesi keguruan, baik yang ditimbulkan oleh fihak lain maupun akibat prilaku guru itu sendiri, maka pemerintah bersama organisasi profesi (PGRI) melakukan upaya untuk meningkatkan profesionalime yang akan berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan seorang guru, dan peningkatan mutu pendidikan, dengan lahirnya UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Agar profesi guru menjadi profesi yang sejajar dalam hal “gengsi” dengan profesi dokter, akuntan, pengacara, psikolg yang tidak lagi dilecehkan. Maka pemerintah mensyaratkan agar seorang guru memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Sehingga layak diberikan sertifikat profesi sebagai tenaga professional dan tentu berimplikasi pada peningkatan finansial (gaji) yang cukup signifikan. Pasal 16 ayat 1 UU No. 14 tahun 2005 menjelaskan bahwa Guru yang telah memiliki sertifikat pendidik berhak mendapatkan tunjangan profesi dari pemerintah, kemudian ayat 2 menjelaskan bahwa tunjangan sama dengan satu kali gaji pokok yang diperoleh guru setiap bulannya. Dan kebijakan tersebut diperkuat lagi dengan penjelasan pasal 6 ayat 1,  2, dan 3. Permendiknas RI nomor 18 tahun 2007.
Kebijakan tersebut serta merta disambut sangat antusias oleh guru, ibarat oase di tengah padang pasir. Harapannya tentu adanya penghargaan terhadap profesi, peningkatan kesejahteraan. Sehingga guru di seantero pelosok negeri ini termotivasi untuk mengikuti kegiatan seleksi, portopolio, PLPG, UKA, UKG tentu dengan satu harapan peningkatan profesionalime dengan implikasi peningkatan kesejahteraan. Dan bukan sampai di sini saja implikasinya adalah LPTK menjadi ramai peminat, membludak, tidak lagi  menjadi jurusan nomor terpaksa, tapi mampu mensejajarkan diri dengan jurusan ekonomi, psikologi, akuntan, tehnik bahkan kedokteran. Namun kenyataan berkata lain, tujuh tahun kapal sertifikasi telah berlayar membawa harapan besar para guru di negeri ini. Dalam perjalanannya  memunculkan banyak masalah yang tentunya guru menjad fihak yang dirugikan. Sementara Pemerintah (Mendiknas) sebagai kesyahbandaran, dan PGRI sebagai kapten  kapal menutup mata dan telinga terhadap begitu banyak jeritan (masalah) penumpang kapal (baca guru).
Permasalahan yang timbul sangat terkait dengan hak (kesejahteraan) guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik dan diakui UU terkatung-katung. Apabila kita menyimak cerita, keluhan langsung dari para guru, informasi baik media cetak maupun online maka dapat disarikan permasalahan tersebut antara lain: (1) pencairan tunjangan yang selalu terlambat, dan tidak tepat waktu, seperti contoh tahun ini (2013) pencairan  tunjangan triwulan pertama (januari,pebruari, maret,) pada bulan Mei, dan pencairan triwulan kedua (april, mei juni) pada minggu ke tiga bulan agustus. Padalah guru sudah melaksanakan kewajibannya selama 8 bulan, dan tentunya mereka semua memiliki beban tanggung jawab terhadap profesonalismenya, kesejahteraan keluarganya, pendidikan anak-anaknya yang tentunya setiap bulan membutuhkan dana, sehingga banyak guru mengatasi hal tersebut dengan cara berhutang, (2). Pencarian tunjangan yang kadang-kadang tidak lengkap dua belas bulan, (3). Pencairan dana yang tidak merata, terhadap guru yang sudah memiliki sertifikat profesi. Karena ada guru yang sudah menerima, tapi ada juga yang belum dengan berbagai problem yang mestinya sudah bisa teratasi mengingat perjalanan kapal sertifikasi yang kurang lebih tujuh tahun, (4). Rumitnya birokrasi pencairan dengan berbagai aturan, tandatangan, terutama dirasakan oleh guru yang bertugas di pelosok dan harus meninggalkan tugas untuk melengkapi berbagai syarat pencairan di ibukota kabupaten, (5). Tidak jelasnya birokrasi sertifikasi dimata para guru, dalam melakukan pengurusan terhadap berbagai masalah yang timbul terkait pencairan dana sertifikasi, karena pemerintah pusat dan daerah selalu saling menyalahkan, (5). Tidak berjalannya fungsi organisasi profesi (PGRI), buktinya dari tahun ke tahun selalu saja ada keluhan guru terkait pencairan tunjangan sertifikasi, dan belum dirasakan ada tindakan aktual dari organisasi untuk mengatasi permasalahn tersebut.
Lalu bagaimanakan  solusi  yang tepat untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut ?. tentu pemerintah sebagai pemegang otoritas utama dalam hal ini memegang peranan penting untuk meningkatkan kepedulian terhadap pelayanan aparaturnya khususnya guru, kemudian PGRI sebagai organisasi yang memayungi profesi ini harus betul-betul meningkatkan kepeduliannya, terhadap apapun yang menjadi keluhan, dan problem pendidikan dan pengajaran yang dihadapi oleh para guru di negeri ini. Kemudian tidak kalah pentingnya adalah peran dan  kepedulian anggota DPR baik pusat maupun daerah agar tidak lagi menuggu guru baik atas nama organisasi maupun pribadi, tapi segera tanggap terhadap segala situasi yang berkembang untuk menggelar pertemuan dengan fihak pemerintah dengan organisasi profesi untuk segera menemukan solusi yang tepat, agar konsentrasi guru tidak lagi terpecah kepada banyak hal, tapi hanya focus pada tugas utamanya,  karena bila tidak segera diatasi maka akan berimplikasi terhadap mutu, baik mutu pendidikan yang dikelolanya, mutu siswa yang di ajarnya, mutu diri dan kelurganya, maupun mutu masyarakat sosial yang ada di sekitanya. Wallahu.





Selasa, 19 Maret 2013


PENDAFTARAN SELEKSI TULIS MASUK PTN DIBUKA 13 MEI

 Penulis : Riana Afifah | Sabtu, 16 Maret 2013 Sumber Kompas.Com


JAKARTA, KOMPAS.com — Apabila Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun ini hanya diperuntukkan bagi lulusan 2013, maka lulusan SMA/SMK/MA tahun 2012 atau 2011 yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi tidak perlu khawatir. Pasalnya, kesempatan tetap terbuka melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).

Ketua Umum Panitia SBMPTN 2013, Akhmaloka, mengatakan bahwa jalur yang diluncurkan pada Jumat (15/3/2013) ini berbasis seleksi hasil ujian tertulis dan terbuka bagi siswa yang lulus UN pada tahun 2011 dan 2012 serta bagi siswa yang tak berhasil memperoleh kursi di PTN melalui SNMPTN. Pendaftaran untuk SBMPTN baru akan dibuka pada 13 Mei mendatang dan ditutup pada 7 Juni. Sementara itu, ujian seleksi ini sendiri akan diselenggarakan selama dua hari, yaitu pada 18-19 Juni.

"Sistem ini kami buka untuk memfasilitasi siswa yang tak lolos SNMPTN tahun lalu atau tahun ini dan juga siswa yang ingin pindah kampus," kata Akhmaloka saat peluncuran SBMPTN di Kemdikbud, Jakarta, Jumat (15/3/2013).

Pria yang juga menjabat sebagai Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) ini menjelaskan bahwa berbeda dengan tahun 2012, peserta ujian tertulis kali ini dapat memilih tiga program studi dengan tiga kelompok ujian yang disediakan. Jika pada tahun lalu tiga kelompok tersebut adalah IPA, IPS, dan IPC, maka kali ini terdiri dari kelompok Sains-Teknologi, kelompok Sosial-Humaniora, dan kelompok campuran.

"Sekarang untuk semua kelompok boleh memilih tiga prodi yang diminatinya," ungkap Akhmaloka.

Untuk SBMPTN sendiri, peserta yang mengikutinya akan dikenai biaya berdasarkan dengan kelompok ujian yang dipilihnya. Pada tahun ini, panitia mematok sebesar Rp 175.000 untuk kelompok sains-teknologi dan kelompok sosial-humaniora, sementara untuk kelompok campuran dibanderol lebih mahal dengan biaya sebesar Rp 200.000.

BERITA

  MULAI APRIL 2013 TUNJANGAN SERTIFIKASI GURU LANGSUNG MASUK REKENING

         Sebuah khabar yang sungguh menggembirakan bagi segenap guru-guru di tanah air. Pasalnya mulai tahun 2013 uang tunjangan profesi guru akan langsung disalurkan ke rekening guru, tidak lagi melalui pemerintah kota/kabupaten. Kebijakan ini dilakukan karena penyaluran dana lewat pemerintah kota/kabupaten sering kali dananya terlambat diterima guru.
      Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, pemerintah sangat serius menyelesaikan persoalan tunjangan profesi guru yang sering kali uangnya terlambat diterima guru. Mulai tahun ini sebanyak Rp 7,6 triliun tunjangan guru sepenuhnya disalurkan melalui pemerintah pusat. Tunjangan itu meliputi tunjangan fungsional non pns, tunjangan profesi, tunjangan khusus bagi guru di daerah terpencil dan tertinggal, dan tunjangan kualifikasi bagi guru yang melanjutkan ke DIV atau S1. Sebelumnya, pada tahun lalu, sebanyak Rp 5,7 triliun tunjangan guru disalurkan melalui dekonsentrasi.
          Hal tersebut disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh saat memberikan keterangan pers di Kemdikbud, Jakarta, Kamis (6/2/2013).
          Anggaran tersebut dialokasikan bagi sebanyak 629.044 guru. Jumlahnya meningkat dibandingkan dengan tahun lalu sebanyak 610.685 guru. Dari anggaran tersebut, sebagian anggaran digunakan untuk tunjangan fungsional guru non pns daerah atau guru swasta dan yang belum mendapatkan tunjangan profesi karena belum sertifikasi.“Alasan ditariknya anggaran fungsional ke pusat supaya efektif. Tahun lalu penyalurannya sering terlambat. Oleh karena itu, (sekarang) ke pusat supaya lebih efektif,” katanya.
          Mendikbud menyebutkan, pada tahun ini sebanyak 321 ribu guru akan menerima tunjangan fungsional tersebut. Jumlah ini berkurang dari tahun lalu sebanyak 339.573 guru. Menurut Mendikbud, penurunan jumlah penerima tunjangan ini karena sebagian guru swasta telah mendapatkan tunjangan sertifikasi. “Tunjangan fungsional diberikan kepada guru yang belum sertifikasi,” katanya.
        ”Setelah dilakukan evaluasi secara menyeluruh, pemerintah pengambil kebijakan akan menyalurkan langsung dana itu ke tangan guru,” kata Nuh saat evaluasi program pendidikan 2012 dan rencana tahun 2013 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pekan lalu, di Jakarta. ”Kami menyadari ini pekerjaan rumah yang sulit. Kami akan kawal dana itu agar benar-benar sampai di tangan guru,” ujar Nuh.
          Dari total anggaran fungsi pendidikan sebesar Rp 337 triliun di tahun 2013, pemerintah mengalokasikan Rp 43 triliun untuk tunjangan profesi guru. Besarnya tunjangan profesi guru satu kali gaji pokok guru.

Banyak potongan

            Menanggapi hal ini, Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo berharap, tahun 2013 pembayaran tunjangan profesi guru akan lebih baik.
            Dalam soal tunjangan profesi guru, kata Sulistiyo, masalah yang muncul antara lain banyaknya guru yang belum mendapat tunjangan profesi walau sudah lolos sertifikasi. Kalaupun menerima, dana itu sering terlambat hingga enam bulan. Selain terlambat, uang yang diterima guru tak utuh karena dipotong dinas pendidikan daerah dengan berbagai alasan. Kalaupun tidak dipotong, saat pencairan tunjangan profesi, guru diharuskan membeli berbagai perlengkapan pendidikan seperti laptop yang harganya lebih mahal dibandingkan harga pasar.
              Sulistiyo juga menyoroti sulitnya guru swasta serta guru honorer mendapat tunjangan profesi. Saat ini dari sekitar 2,9 juta guru di berbagai jenjang pendidikan, sekitar 1,7 juta berstatus guru pegawai negeri sipil (PNS) dan sekitar 1,2 juta guru non-PNS, baik guru swasta, guru bantu, guru honorer, maupun status lainnya.
             Dari rencana program pemerintah tahun depan, ujar Sulistiyo, tidak terlihat adanya rencana mengatasi kekurangan guru SD, tenaga administrasi, perpustakaan, dan laboratorium di sekolah. Persoalan tenaga kependidikan ini tidak pernah disentuh pemerintah pusat. ”Meski menjadi urusan daerah, tetap harus ada solusinya ketika daerah tidak menjalankan kewajibannya,” kata Sulistiyo.



Sumber : Kompas.com

Rabu, 13 Maret 2013

KURIKULUM BARU HADIAH TAHUN BARU


KURIKULUM 2013,
(Akankah Menjadi Hadiah Tahun Baru yang Membahagiakan ?)

Oleh : Mahfud, S. Pd
 
Dalam perjalanan negara tercinta Indonesia setelah merdeka, sudah sembilan kali mengalami pergantian kurikulum, alasannya klise “perubahan untuk mengapai kemajuan”. Kurikulum pertama pada masa kemerdekaan namanya Rencana Pelajaran 1947. Kurikulum ini  bersifat politis, yang tidak mau lagi melihat dunia pendidikan masih menerapkan kurikulum Belanda, yang orientasi pendidikan dan pengajarannya ditujukan untuk kepentingan kolonialis Belanda. Pancasila ditetapkan menjadi asas pendidikan. Kurikulum berikutnya lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keterampilan (keprigelan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis. Empat tahun kemudian lahir kembali kurikulum yang bersifat politis kurikulum 1968 sebagai pengganti kurikulum 1964 yang dianggap sebagai produk orde lama.
Tujuh tahun berselang , lahirlah kurikulum 1975 yang lebih menekankan pada tujuan yang lebih efisien dan efektif, yang kemudian lebih dikenal dengan TIU (tujuan instruksional umum) dan TIK (tujuan instruksional khusus), kurikulum ini mulai memberatkan dan menyibukkan guru di lapangan karena guru dituntut membuat SP (satuan pelajaran) untuk setiap satuan bahasan. Atas alasan tersebut kurikulum ini banyak di kritik, sehingga mencetuskan kelahiran  kurikulum 1984 yang mengusung process skill approach. Kirikulum ini dianggap penyempurnaan kurikulum 1975, Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini kemudian disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Secara teoritis dan saat uji coba CBSA terkesan sangat sempurna, sayangnya dalam penerapan terutama di sekolah-sekolah pelosok yang jauh dari tempat uji coba mengalami pembiasan arti, siswa dan guru pelosok tidak mampu menerapkan karena berbagai kendala yang tidak terfikirkan sebelumnya, sejak saat itu bermunculan penolakan terhadap CBSA , hingga lahirlah kurikulum penyempurna karena merupakan kombinasi antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, perpaduan antara tujuan dengan pendekatan proses, akibatnya beban belajar siswa bertambah berat karena siswa dibebani dengan pelajaran yang bermuatan nasional hingga lokal yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing seperti muatan lokal, keterampilan daerah, hingga bahasa daerah. Akibatnya kurikulum ini menjelma menjadi kurikulum super padat karena ada penambahan suplemen kurikulum 1999.
Atas dasar pemikiran beban belajar siswa yang padat maka dimunculkan kurikulum 2004 yang bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Jika pada kurikulum sebelumnya lebih menekankan pada ketuntasan materi, maka pada kurikulum KBK lebih menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa. Namun lagi-lagi kurikulum ini menjadi rancu dengan masih dipertahankan model evaluasi UAN dan UAS, terutama bagi sekolah dan siswa yang  berada di daerah pelosok yang tingkat kompetensinya jauh berbeda dengan sekolah dan siswa di kota. Akibatnya kurikulum ini berumur pendek dibanding kurikulum lainnya, ia dieksekusi dan berganti menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( kurikulum 2006). Kirikulum ini tidak berbeda jauh dengan kurikulum KBK, yang menonjol hanya sekolah dan guru diberi kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah masing-masing. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SK-KD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Serta penyusunannya melibatkan komponen orang tua murid (komite sekolah).
Bila kita mencermati perjalanan dan pergantian kurikulum, hingga sekarang akan segera muncul kurikulum super baru, kurikulum 2013 dengan penekanan tematik-integratif, yang akan menjadi “Kado Tahun baru” bagi para Guru dan orang tua murid, karena memiliki kemiripan, antara lain: pertama; kelahiran tiap kurikulum selalu diawali oleh banyaknya keluhan di lapangan dan bukan dari hasil evaluasi yang mendalam , kedua; kelahiran kurikulum selalu bersifat politis karena banyak tekanan dan kritikan, sehingga ruh kurikulum lebih banyak mengakomodasi kepentingan pemerintah yang sedang  berkuasa dari pada kepentingan guru di lapangan, ketiga; karena lahirnya kurikulum merupakan jalan keluar pemerintah dari berbagai kritikan sehingga pemerintah dalam menyusun kurikulum hanya melibatkan unsur akademisi, ahli pendidikan  dan tidak pernah melibatkan para guru yang sesungguhnya sangat ahli dari akademisi, karena mereka lebih kaya pengalaman lapangan dari pada para akademisi yang hanya berteori.
Kurikulum 2013 yang dianggap menjadi hadiah tahun baru, perlu dicermati apakah akan membawa kebahagiaan atau malah mendatangkan kerumitan dan kebingungan baru (KBK/kurikulum berbasis kebingungan) bagi para guru di lapangan. Kelahiran kurikulum 2013 antara lain disebabkan oleh banyaknya kritikan terhadap kurikulum KTSP yang  menilai pendidikan selama ini (KTSP) terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif, beban siswa yang terlalu berat, dan kurang bermuatan karakter dan  hanya mementingkan unsur kognitif sementara unsur afektif diabaikan, sehingga bermunculan fenomena sosial yang mengemuka seperti perkelahian pelajar, narkoba, korupsi, plagiarisme, kecurangan dalam berbagai jenis ujian, dan gejolak sosial (social unrest), yang dianggap sebagai output kurikulum 2006 yang mengabaikan karakter, padahal sesungguhnya dalam kurikulum KBK penilaian afektif yang identik dengan penilaian karakter sudah dimunculkan, sehingga buku rapor siswa memuat tiga nilai yaitu kognitif, afektif dan psikomotor, namun lagi-lagi baik kurikulum KBK maupun KTSP menganggap bahwa nilai sikap (karakter hanya sebagai penghias etalase, karena tidak memiliki kekuatan eksekusi untuk tidak menaikkan kelas atau meluluskan siswa. Akibatnya dipenghujung usia KTSP disempurnakan dengan pengimplementasian karakter ke dalam silabus dan RPP, dan yang paling merasakan adalah guru sebagai pelaku di lapangan.
Tahun 2013 merupakan tahun penting bagi dunia pendidikan di Indonesia. Kenapa tidak ?, karena para guru dan orang tua murid akan mendapatkan hadiah tahun baru, berupa pergantian kurikulum 2006 (KTSP), dengan kurikulun 2013.  Dalam terminologi  pemerintah untuk mengaburkan bahwa pergantian kurikulum sarat nuansa politis, maka pemerintah membungkus kado tersebut dengan kalimat “ disesuaikan dengan perkembangan zaman”. Orientasi Kurikulum 2013 adalah terjadinya peningkatan dan keseimbangan antara kompetensi sikap (attitude), keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge).  Inti dari Kurikulum 2013, adalah ada pada upaya penyederhanaan, dan tematik-integratif. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi yang siap di dalam menghadapi masa depan. Karena itu kurikulum disusun untuk mengantisipasi perkembangan masa depan, dengan rasionalitas  penambahan jam pelajaran, perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu), dan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output), serta pengitegrasian beberapa mata pelajaran.
Kemunculan tiap kurikulum, termasuk kurikulum yang akan menjadi hadiah tahun baru buat kita semua juga sebagai hasil dari mengkomparasi berbagai kurikulum yang diterapkan dinegara maju, termasuk penambahan jam pelajaran karena dianggap di Indonesia jam belajar siswa terlalu singkat, di banyak negara, seperti AS dan Korea Selatan, akhir akhir ini ada kecenderungan dilakukan menambah jam pelajaran. Diketahui juga bahwa perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat. Dan kecenderungan akhir-akhir ini banyak negara menambah jam pelajaran seperti di AS dan  Korea Selatan, dan Perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat.
Pengembangan Kurikulum 2013 dilakukan dalam empat tahap. Pertama, penyusunan kurikulum di lingkungan internal Kemdikbud dengan melibatkan sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu dan praktisi pendidikan, (bahasa penulis) tanpa melibatkan unsur guru sebagai pemangku kepentingan. Kedua, pemaparan desain Kurikulum 2013 di depan Wakil Presiden selaku Ketua Komite Pendidikan (bahasa penulis) bersifat politis, karena mestinya yang menjadi ketua dewan pendidikan adalah orang yang faham problem pendidikan bangsa dengan latar belakang pendidikan dan bukan latar belakang ekonomi. yang telah dilaksanakan pada 13 November 2012 serta di depan Komisi X DPR RI pada 22 November 2012. Ketiga, pelaksanaan uji publik guna mendapatkan tanggapan dari berbagai elemen masyarakat. Salah satu cara yang ditempuh selain melalui saluran daring (on-line) pada laman http://kurikulum2013.kemdikbud.go.id , juga melalui media massa cetak (bahasa penulis) uji publik yang tidak melibatkan unsur keterwakilan masyarakat Indonesia secara menyeluruh, karena unsur keterjangkauan uji publik dengan media massa cetak dan on-line hanya menjangkau daerah perkotaan saja, sehingga problem di daerah pelosok, terpencil tidak terakomodasi. Tahap keempat, dilakukan penyempurnaan untuk selanjutnya ditetapkan menjadi Kurikulum 2013.
Kemudian apakan kurikulum baru (2013) akan menjadi hadian yang membahagiakan ataukah membingungkan ?, yang jelas ada fihak yang berbahagia dan ada fihak yang kebingungan, dan  jawabannya tentu sangat tergantung siapa yang menerima hadiah tersebut, bagi pengusaha percetakan, penerbit, dan  Foto Copy akan membawa berkah baru karena proyek percetakan buku teks pelajaran, LKS , foto copy perangkat baru (Silabus, RPP atau mungkin dengan istilah baru). Bagi pejabat ditingkat kementerian, Widia Iswara, pegusaha hotel dan catering juga membawa berkah karena segera setelah penerapan kurikulum baru maka akan bermunculan kegiatan sosialisasi dan diklat. Kemudia orang tua dan Guru sebagai pemangku kepentingan akan berada pada fihak kebingungan, berharap harap cemas. Karena berdasarkan pengalaman sebelumnya rutinitas KBM mulai terganggu dengan kegiatan sosialisasi dan diklat, penyusunan perangkat pengajaran baru yang membutuhkan energi dan biaya besar, padahal rasa lelah menyusunan perangkat yang mengitegrasikan pendidikan karakter ke dalam kurikulum KTSP belumlah hilang.  serta orang tua yang harus mengeluarkan biaya ekstra untuk membeli buku teks pelajaran dan LKS yang telah disesuaikan dengan kurikulum baru (2013), karena bukku teks dan LKS lama menjadi milik pemulung.
Akhirnya marilah kita berdo’a semoga hadiah tahun baru (kurikulum 2013) tidak mengalami nasib yang sama seperti pendahulunya, menuai masalah dalam perjalanannya, karena indikasi tersebut mulai tercium; pertama proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu, dari guru menjadi pusat informasi, menjadi siswa sebagai pelaku). Proses tersebut akan bermasalah di sekolah-sekolah yang berada di daerah pelosok, dengan sarana prasarana yang dimiliki sekolah guru dan siswa yang sangat minim, sarana komunikasi yang tidak tersedia, maka proses pencarian siswa akan terhambat, sehingga yang terjadi kemudian adalah pengajaran dengan metode lama, kedua kurikulum 2013 dicirikan dengan penyederhanaan jumlah mata pelajaran sehingga ada mata pelajaran yang tidak lagi dimunculkan seperti bahasa daerah di SD dan TIK di SMA, sementara guru-gurunya sudah ada yang disertifikasi (Kompas.com), sehingga mereka akan kesulitan untuk memenuhi syarat 24 jam wajib mengajar, ketiga metode tematik-integratif membuka peluang guru dan siswa untuk mengeksplorasi lebih dalam tentang tema bahasannya. Anak-anak juga bebas mengobservasi dan mencari tahu sendiri jawaban dari permasalahan yang dihadapi. "Metode seperti ini tanpa batasan dan dinamis sehingga akan jadi persoalan jika ujian nasional (UN) masih dijadikan alat evaluasi," keempat  jika format evaluasi UN dengan penekanan unsur kognitif saja seperti kurikkulum 2006, sementara unsur afektif (karakter) yang menjadi salah satu ciri kurikulum 2013 tidak memiliki kekuatan eksekusi seperti halnya dalam kurikulum KTSP, maka dapat si pastikan kurikulum 2013 yang menjadi hadiah tahun baru bagi kita semua akan mengalami nasib yang sama dengan 8 saudara kandung pendahulunya.







Minggu, 10 Maret 2013

BALE PANGGUNG
(Antara Kearifan Lokal dengan Kelestarian Lingkungan Hidup)


Oleh  : Mahfud, S.Pd(*



 Indonesia adalah Negara yang sangat kaya akan warisan budaya, tanpa terkecuali daerah kita tercinta Samawa,  sehingga sudah selayaknya warisan budaya tersebut kita jaga dan kita pelihara, sebagai bagian dari budaya nasional agar tetap lestari sebagai sebuah kearifan lokal (KL)  atau local wisdom.  KL dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang  tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius (lg) Menurut Haryati Soebadio mengatakan bahwa lg adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya yang menyebabkan masyarakat daerah tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan budaya  sendiri .


KL terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. KL merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

                Secara umum, KL (dalam situs Departemen Sosial RI) dianggap pandangan hidup, ilmu pengetahuan , peralatan tehnologi, serta  berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dengan pengertian-pengertian tersebut, KL  bukan sekedar nilai tradisi atau ciri lokalitas semata melainkan tradisi yang berbentuk fisik dan non fisik yang mempunyai daya-guna untuk untuk mewujudkan harapan atau nilai-nilai kemapanan yang juga secara universal yang didamba-dambakan  oleh masyarakat setempat.

                Samawa sebagai entitas budaya lokal tentu memiliki sangat banyak ragam KL yang walaupun sampai saat ini para pemerhati budaya samawa masih bersilang pendapat, sedang menginventarisir, mana yang disebut sebagai betul-betul budaya Samawa (kearifan lokal samawa) . memang tidak bisa di pungkiri bahwa ada sangat sedikit budaya yang betul-betul asli di dunia ini, karena pengaruh difusi dan akultirasi budaya, termasuk budaya samawa.
               
                Dalam Loka yang diKLaim sebagai ikon kesamawaan, masih memiliki banyak kesamaan dengan rumah adat  Bala Lompoa di Sulawesi, begitu juga dengan turunannya yang disebut Bale Panggung (BP)sebagai tempat domisili TS kebanyakan , juga memiliki banyak kesamaan dengan rumah tempat tinggal masyarakat Sulawesi selatan.

                 Terlepas dari banyaknya perdebatan akan keaslian bale panggung sebagai KL tau samawa (TS), akan kita abaikan .  yang jelas banyak di antara kita TS, lahir dan besar di tana samawa memahami bahwa BP,  adalah ikon kesamawaan. Untuk menjawab perdebatan di atas tentu menjadi tugas para ilmuan, sejarawan ,peneliti yang peduli akan keberadaan budaya lokal samawa.

                Asumsi saya mengatakan bahwa BP, adalah wujud KL TS. Oleh karena itu, BP sebagai local identity, TS keberadaannya  dari hari ke hari kian meprihatinkan dan dianggap tidak penting lagi. Saya adalah bagian TS yang dilahirkan, dibesarkan dan di didik dalam identitas BP. Dalam perjalanan hidup saya yang menginjak kepala empat, statistik keberadaan BP sangat menyedihkan. Saat saya kelas 3 SD ( th 1978) 98%  pemukiman penduduk di desa saya adalah BP, sedangkan yang 2 % dimiliki  oleh pendatang dari sasak dan segelintir  TS  dengan strata ekonomi kaya. Namun apa yang terjadi sekarang ?, didusun tempat saya lahir kini hanya tersisa 13 BP , itupun 6 diantaranya  tidak murni lagi karena bagian depan atau belakangnya telah disulap menjadi rumah batu (baca tembok), sehinga saya berasumsi ditempat lain juga memiliki kondisi yang hamper sama. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan  dalam  sepuluh tahun kedepan BP hanya tinggal sebuah nama, anak dan cucu kita TS hanya bisa melihat  keberadaan BP di museum. Dan pada saat itulah akan terjadi  TS  tidak mengenal lagi yang namanya “anar, tabongan, para, alang, langke pene, langke belo, jelika, senikan, baji dsb ” yang semuanya  adalah bagian dari BP. Dan saat itulah generasi TS tidak lagi memiliki ketrampilan “entek-turin anar”, seperti halnya teman saya yang orang Probolinggo yang mendapat tugas sebagai guru di salah satu desa di Kecamatan Empang pada tahun 1997, menjadi  sangat  tersiksa  saat akan berangkat dan pulang mengajar karena harus “entek - turin (rabungkak) anar”.

                Mengutip pernyataan YM Sultan Muhammad Kaharuddin IV  (malajah Bulaeng edisi Agustus 2012) tugas kita tau samawa adalah “ menjaga dan melestarikan  jiwa, ruh kebudayaan sebagai penyusun pradaban”, dan berkaca dari kasus bangsa Jepang yang ditaKLukkan oleh Sekutu, seketika setelah taKLuk dalam perang dunia pemimpin mereka berkata kepada sekutu “ kami tidak akan membangun angkatan perang, namun jangan ganggu adat dan budaya kami”. Itu artinya  bahwa kemajuan bangsa Jepang  hanya bermodalkan kesetiaan menjaga dan bangga dengan adat budaya (baca KL) yang mereka miliki.
                Oleh karena itu kondisi  ini  tentu menjadi pemikiran dan keprihatinan kita semua sebagai TS, yang peduli akan identitas lokal, ikon kesamawaan, Apabila BP hilang dari entitas budaya samawa. Sampai saat ini kita tidak tahu pasti penyebab semakin berkurangnya BP sebagai lingkaran  hidup TS, karena tidak ada hasil penelitian dan pengkajian tentang itu, sehingga kita hanya bisa berasumsi bahwa penyebab semakin berkurangnya BP adalah mungkin karena TS tidak lagi memiliki kebanggaan dengan BP sebagai tempat tinggalnya, atau mungkin terkait dengan PP Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 Tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan”, dan Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 26 Tahun 2006 Tentang Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik.
                Keberadaan dua perangkat  hukum tersebut oleh pemerintah tentu memiliki maksud kelestarian kawasan  hutan dan lingkungan hidup, dari rambahan tangan-tangan jahil dan serakah, namun bagi TS mungkin dianggap sulit, rumit serta mahal, mengingat BP 99% material utamanya dari kayu.  Jika hal tersebut menjadi salah satu penyebabnya  tentu  pemerintah harus berfikir dan membuat kebijakan yang membuat keduanya lestari, baik kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat maupun BP , atau dengan membuat kebijakan bahwa dalam tiap kecamatan harus memiliki desa adat yang mempertahankan semua KL yang mereka miliki termasuk BP. Sehingga generasi TS tidak lagi harus jauh-jauh ke kota sumbawa hanya untuk melihat keunikan budayanya sendiri (dalam loka). Oleh karena itu kedepan menjadi pekerjaan rumah buat kita semua TS dari berbagai kalangan, legeslatif ,eksekutif, akademisi, peneliti, komunitas budaya semacam LATS, KIAK, GARDA MASMAWA, sesuai dengan kapasitasnya untuk melakukan beberapa hal seperti; melakukan pengkajian , mengiventarisir, mensosialilsasikan kepada generasi penerus  TS, akan keberadaan budaya samawa (baca kearifan lokal),  melakukan upaya-upaya demi lestarinya KL (termasuk salah satunya adalah BP).




Sabtu, 09 Maret 2013

ARTIKEL PENDIDIKAN



“GURU KENCING BERDIRI MURID KENCING BERLARI”
(Masih Urgenkah dengan Kondisi Kekinian ?)


                             

Ungkapan tersebut rasaiang di telinga saat guru Bahasa Indonesia menugaskan menghafal peribahasa di depan kelas tigahpuluan tahun yang lalu, namun apakah ungkapan tersebut masih juga memiliki urgensi dengan kondisi kekinian?. Peribahasa ( dalam bahasa inggris proverb) adalah kelompok kata yang memiliki susunan yang tetap, mengandung pengertian tertentu, perbandingan, perumpamaan, prinsip hidup atau aturan yang maknanya luas. Lebih lanjut Carvantes Novelis, dan penyair Spanyol mendefenisikan peribahasa sebagai kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang.
Peribahasa merupakan perumpamaan dan perbandingan makna yang sangat jelas, karena didahului oleh perkataan seolah-olah, ibarat, bak, seperti, laksana, macam, bagai, umpama. Pada masa lalu peribahasa digunakan sebagai jalan untuk memudahkan mereka yang ingin memberi nasehat, teguran atau sindiran, sehingga fihak yang diberi nasehat atau teguran bisa menerima dengan baik tanpa perlu tersinggung. Peribahasa adalah bentuk pengucapan yang banyak dijumpai dalam kesusastraan lama. Peribahasa banyak digunakan dalam kehidupan seharian orang pada masa dulu. Bila diselidiki isi dan jiwa yang terkandung dalam peribahasa itu, banyak bahan yang diambil dari sejarah, kehidupan sosial, dan perikehidupan mereka pada zaman lampau. Peribahasa hidup dalam pergaulan sehari-hari dan difungsikan dengan baik oleh orang-orang terdahlu, namun sekarang hampir dilupakan dan hanya  terdapat dalam buku pelajaran dan menjadi hafalan.
“Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari”, yang kemudian disebut sebagai GKB-MKB. Ungkapan  tersebut adalah pepatah/peribahasa lama dengan peruntukan nasehat dan  lebih banyak memiliki makna konotatif dari makna denotatif. “Guru” dalam ungkapan tersebut lebih sebagai konotasi sebagai siapa saja yang memiliki status sebagai pemimpin, termasuk di dalamnya guru itu sendiri. Sedangkan “Murid” dalam ungkapan tersebut memiliki makna konotasi sebagai siapa saja yang memiliki status sebagai bawahan, termasuk murid itu sendiri. Sehingga peribahasa GKB-MKB memiliki makna jika seorang pemimpin, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, termasuk Guru, jika berbuat  buruk, maka pengikut-pengikutnya akan berbuat lebih buruk daripada yang dilakukan oleh pemimpin tersebut. Sehingga peribahasa tersebut dimasksudkan kepada siapa saja yang menjadi pemimpin untuk tidak melakukan perbuatan yang buruk, karena juga sangat terkait dengan budaya masyarakat kita yang paternalistik
Peribahasa GKB-MKB apabila kita telisik makna denotatif-nya, tentu sedikit mengusik dan menggangu fikiran siapa saja yang berprofesi sebagai pendidik (baca Guru), dan sedikit bernada penghinaan, karena objek dalam peribahasa tersebut adalah Guru sebagai pribadi yang digugu dan ditiru, diteladani, pribadi yang tidak boleh salah, dan Murid sebagai pribadi yang meneladani, mencontoh apa yang dilakukan oleh gurunya. Sekarang timbul pertanyaan kenapa peribahasa tersebut menggunakan objek Guru ?, mungkinkah karena saat peribahasa tersebut dibuat, pemimpin yang menonjol adalah fugur seorang guru ?. dan memang asumsi tersebut terasa sekali tigapuluh tahun yang lalu. Namun saat sekarang ini bisa saja peribahasa tersebut apabila dimaknai denotatif dan orang tidak lagi memaknai konotatif, karena fungsi peribahasa saat sekarang ini lebih kepada ungkapan dan sekedar hafalan siswa dibangku sekolah, dan tidak lagi sebagai nasehat yang memiliki makna konotatif.
Ungkapan GKB, meletakkan guru sebagai figur sentral, sebagai penyebab siswa memiliki karakter/pribadi buruk seperti perkelahian pelajar, tidak disiplin, suka berbohong,  malas belajar, malas beribadah, apatis, pergaulan bebas, dsb (murid kencing berlari). Bukan maksud untuk melakukan pembelaan terhadap figur seorang guru, walaupun memang guru juga tidak boleh melakukan segala bentuk perbuatan yang mengarah kepada kencing berdiri. Rasanya menjadi tidak adil apabila segala bentuk kerusakan karakter/pribadi remaja (murid) dan mengarah atau mengejala kepada prilaku kencing berlari, maka serta merta variabel penyebabnya adalah Guru (denotatif) yang kencing berdiri. Karena guru sebagai figur pendidik hanyalah salah satu dari sangat banyak varibel penyebab kenapa karakter murid menjadi rusak (mengarah kepada kencing berlari).
Apabila kita mengkaji dari aspek psikologis maupun  sosiologis, maka secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi pembentukan karakter/kepribadian seorang anak (murid) dalam proses sosialisasi yaitu faktor sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer meliputi lingkungan prenatal, saat anak dalam kandungan dipengaruhi oleh kondisi psikologis orang tuanya khusus ibu saat mengandung, jika kondisi psikologis ibunya terganggu, tertekan, tidak tenang saat mengandung, maka anak akan terlahir dengan kondisi bawaan yang tempramental, pemarah, dan juga berlaku sebaliknya. Kemudian lingkungan primer yang kedua adalah situasi dalam keluarga, nilai-nilai yang ditanamkan oleh agen-agen dalam keluarga, apakah orang tuanya menjalankan fungsinya dengan baik ataukah tidak, karena berbagai faktor penyebab seperti; karena salah satu atau kedua orang tua telah meninggal dunia,  orang tua yang sibuk, brokenhome, bekerja jauh dari rumah (TKW/TKI) jika agen dalam keluarga tidak menjalankan fungsinya dengan baik (sosialisasi yang kurang, tidak sempurna), maka akan melahirkan anak-anak yang menyimpang, anti sosial (kencing berlari), seperti yang dicontohkan oleh kedua orang tuanya atau agen-agen dalam keluarga. Faktor yang kedua adalah sosialisasi sekunder, seperti teman bermain, sekolah/guru, lingkungan sosial,budaya, lingkungan kerja, dan  media massa.
Dari penjelasan tersebut nampak bahwa guru dalam makna denotatif hanya salah satu dari sekian banyak faktor penentu apakah murid akan melakukan kencing berlari ataukah tidak. Dari 24 jam, hanya ada 7 s/d 8 jam waktu yang tersedia untuk guru berinteraksi dengan murid, sementara sisanya digunakan oleh murid untuk berinteraksi dengan agen-agen sosialisasi yang lain baik primer maupun sekunder. Dan sampai saat ini belum ada hasil riset.penelitian yang menyimpulkan bahwa gejala murid kencing berlari (karakter/pribadi negatif) selalu disebabkan oleh perbuatan negatif yang dicontohkan oleh guru kepada muridnya (guru kencing berdiri). Sehingga kami berkesimpulan bahwa peribahasa GKB-MKB sudak tidak relevan dengan kondisi kekinian dalam makna denotatif dan sedikit memiliki nuansa merendahkan profesi guru. Wallahu a’lam.

Download Gratis Buku Pelajaran SD dari BSE Depdiknas

Depdiknas meluncurkan program buku pelajaran murah untuk siswa. Buku dalam bentuk elektronik (e-book) ini diberikan secara cuma-cuma pada seluruh siswa dan masyarakat karena hak ciptanya sudah dibeli seluruhnya oleh pemerintah. Namanya buku sekolah elektronik (BSE). buku teks pelajaran murah yang diluncurkan itu sudah dibeli hak ciptanya dari penulisnya oleh Depdiknas. Sehingga, siswa dan masyarakat bisa memilikinya tanpa izin dari penulisnya…

Berikut ini adalah daftar semua buku pelajaran sekolah dasar yang sudah dirilis BSE-Depdiknas per 30 Juni 2008,
Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia Kelas: 1
Bahasa Kita Bahasa Indonesia
 Pengarang: Muhamad Jaruki
 Penerbit: Pusat Perbukuan Diknas Tahun: 2008
 Jumlah Hal: 247

Bahasa Indonesia Kelas: 2
Aku Bangga Bahasa Indonesia
 Pengarang: Ismoyo
 Penerbit: Pusat Perbukuan Diknas
 Tahun: 2008

Bahasa Indonesia Kelas: 3
Bahasa Indonesia Membuatku Cerdas
 Pengarang: Edi Warsidi, Farika
 Penerbit: Pusat Perbukuan, Depdiknas
 Tahun: 2008
 Jumlah Hal: 143

Bahasa Indonesia Kelas: 4
Bahasa Indonesia Membuatku Cerdas
 Pengarang: Edi Warsidi & Farika
 Penerbit: Pusat Perbukuan Depdiknas
 Tahun: 2008
 Jumlah Hal: 122

Bahasa Indonesia Kelas: 5
Bahasa Indonesia Membuatku Cerdas
 Pengarang: Edi Warsidi, Farika
 Penerbit: Pusat Perbukuan Diknas
 Tahun: 2008
 Jumlah Hal: 111

Bahasa Indonesia Kelas: 6
Bahasa Indonesia Membuatku Cerdas
 Pengarang: Edi Warsidi & Farika
 Penerbit: Pusat Perbukuan Depdiknas
 Tahun: 2008
 Jumlah Hal: 122

Matematika

Matematika Kelas: 1
Matematika 1
 Pengarang: Purnomosidi – Wiyanto – Endang
 Penerbit: Pusat Perbukuan Depdiknas
 Tahun: 2008
 Jumlah Hal: 139

Matematika Kelas: 2
Matematika 2
 Pengarang: Purnomosidi – Wiyanto – Endang
 Penerbit: Pusat Perbukuan Depdiknas
 Tahun: 2008
 Jumlah Hal: 127

Matematika Kelas: 3
Cerdas Berhitung Matematika
 Pengarang: Purnomosidi – Nur – Defi
 Penerbit: Pusat Perbukuan Depdiknas
 Tahun: 2008
 Jumlah Hal: 200

Matematika Kelas: 4
Ayo Belajar Matematika 4
 Pengarang: Purnomosidi – Burhan – Ary
 Penerbit: Pusat Perbukuan Depdiknas
 Tahun: 2008
 Jumlah Hal: 200

Matematika Kelas: 5
Matematika 5
 Pengarang: R.J. Soenarjo
 Penerbit: Pusat Perbukuan Depdiknas
 Tahun: 2008
 Jumlah Hal: 292

Matematika Kelas: 6
Bersahabat dengan Matematika
 Pengarang: A. Dadi Permana
 Penerbit: Pusat Perbukuan Diknas
 Tahun: 2008
 Jumlah Hal: 210

Ilmu Pengetahuan Alam / IPA

Ilmu Pengetahuan Alam Kelas: 1
Senang Belajar Ilmu Pengetahuan Alam
 Pengarang: S. Rositawaty, Aris Muharam
 Penerbit: Pusat Perbukuan Depdiknas
 Tahun: 2008
 Jumlah Hal: 281

Ilmu Pengetahuan Alam Kelas: 2
Senang Belajar Ilmu Pengetahuan Alam
 Pengarang: S. Rositawaty, Aris Muharam
 Penerbit: Pusat Perbukuan Depdiknas
 Tahun: 2008
 Jumlah Hal: 188

Ilmu Pengetahuan Alam Kelas: 3
Senang Belajar Ilmu Pengetahuan Alam
 Pengarang: S. Rositawaty, Aris Muharam
 Penerbit: Pusat Perbukuan Diknas
 Tahun: 2008
 Jumlah Hal: 172

Ilmu Pengetahuan Alam Kelas: 4
Senang Belajar Ilmu Pengetahuan Alam
 Pengarang: S. Rositawaty, Aris Muharam
 Penerbit: Pusat Perbukuan Diknas
 Tahun: 2008
 Jumlah Hal: 220

Ilmu Pengetahuan Alam Kelas: 5
Senang Belajar Ilmu Pengetahuan Alam
 Pengarang: S. Rositawaty, Aris Muharam
 Penerbit: Pusat Perbukuan Diknas
 Tahun: 2008
 Jumlah Hal: 166

Ilmu Pengetahuan Alam Kelas: 6
Senang Belajar Ilmu Pengetahuan Alam
 Pengarang: S. Rositawaty, Aris Muharam
 Penerbit: Pusat Perbukuan Diknas
 Tahun: 2008
 Jumlah Hal: 200
Materi Pelaaran Lainnya bisa didapatkan di http://bse.depdiknas.go.id/