Rabu, 13 Maret 2013

KURIKULUM BARU HADIAH TAHUN BARU


KURIKULUM 2013,
(Akankah Menjadi Hadiah Tahun Baru yang Membahagiakan ?)

Oleh : Mahfud, S. Pd
 
Dalam perjalanan negara tercinta Indonesia setelah merdeka, sudah sembilan kali mengalami pergantian kurikulum, alasannya klise “perubahan untuk mengapai kemajuan”. Kurikulum pertama pada masa kemerdekaan namanya Rencana Pelajaran 1947. Kurikulum ini  bersifat politis, yang tidak mau lagi melihat dunia pendidikan masih menerapkan kurikulum Belanda, yang orientasi pendidikan dan pengajarannya ditujukan untuk kepentingan kolonialis Belanda. Pancasila ditetapkan menjadi asas pendidikan. Kurikulum berikutnya lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keterampilan (keprigelan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis. Empat tahun kemudian lahir kembali kurikulum yang bersifat politis kurikulum 1968 sebagai pengganti kurikulum 1964 yang dianggap sebagai produk orde lama.
Tujuh tahun berselang , lahirlah kurikulum 1975 yang lebih menekankan pada tujuan yang lebih efisien dan efektif, yang kemudian lebih dikenal dengan TIU (tujuan instruksional umum) dan TIK (tujuan instruksional khusus), kurikulum ini mulai memberatkan dan menyibukkan guru di lapangan karena guru dituntut membuat SP (satuan pelajaran) untuk setiap satuan bahasan. Atas alasan tersebut kurikulum ini banyak di kritik, sehingga mencetuskan kelahiran  kurikulum 1984 yang mengusung process skill approach. Kirikulum ini dianggap penyempurnaan kurikulum 1975, Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini kemudian disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Secara teoritis dan saat uji coba CBSA terkesan sangat sempurna, sayangnya dalam penerapan terutama di sekolah-sekolah pelosok yang jauh dari tempat uji coba mengalami pembiasan arti, siswa dan guru pelosok tidak mampu menerapkan karena berbagai kendala yang tidak terfikirkan sebelumnya, sejak saat itu bermunculan penolakan terhadap CBSA , hingga lahirlah kurikulum penyempurna karena merupakan kombinasi antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, perpaduan antara tujuan dengan pendekatan proses, akibatnya beban belajar siswa bertambah berat karena siswa dibebani dengan pelajaran yang bermuatan nasional hingga lokal yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing seperti muatan lokal, keterampilan daerah, hingga bahasa daerah. Akibatnya kurikulum ini menjelma menjadi kurikulum super padat karena ada penambahan suplemen kurikulum 1999.
Atas dasar pemikiran beban belajar siswa yang padat maka dimunculkan kurikulum 2004 yang bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Jika pada kurikulum sebelumnya lebih menekankan pada ketuntasan materi, maka pada kurikulum KBK lebih menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa. Namun lagi-lagi kurikulum ini menjadi rancu dengan masih dipertahankan model evaluasi UAN dan UAS, terutama bagi sekolah dan siswa yang  berada di daerah pelosok yang tingkat kompetensinya jauh berbeda dengan sekolah dan siswa di kota. Akibatnya kurikulum ini berumur pendek dibanding kurikulum lainnya, ia dieksekusi dan berganti menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( kurikulum 2006). Kirikulum ini tidak berbeda jauh dengan kurikulum KBK, yang menonjol hanya sekolah dan guru diberi kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah masing-masing. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SK-KD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Serta penyusunannya melibatkan komponen orang tua murid (komite sekolah).
Bila kita mencermati perjalanan dan pergantian kurikulum, hingga sekarang akan segera muncul kurikulum super baru, kurikulum 2013 dengan penekanan tematik-integratif, yang akan menjadi “Kado Tahun baru” bagi para Guru dan orang tua murid, karena memiliki kemiripan, antara lain: pertama; kelahiran tiap kurikulum selalu diawali oleh banyaknya keluhan di lapangan dan bukan dari hasil evaluasi yang mendalam , kedua; kelahiran kurikulum selalu bersifat politis karena banyak tekanan dan kritikan, sehingga ruh kurikulum lebih banyak mengakomodasi kepentingan pemerintah yang sedang  berkuasa dari pada kepentingan guru di lapangan, ketiga; karena lahirnya kurikulum merupakan jalan keluar pemerintah dari berbagai kritikan sehingga pemerintah dalam menyusun kurikulum hanya melibatkan unsur akademisi, ahli pendidikan  dan tidak pernah melibatkan para guru yang sesungguhnya sangat ahli dari akademisi, karena mereka lebih kaya pengalaman lapangan dari pada para akademisi yang hanya berteori.
Kurikulum 2013 yang dianggap menjadi hadiah tahun baru, perlu dicermati apakah akan membawa kebahagiaan atau malah mendatangkan kerumitan dan kebingungan baru (KBK/kurikulum berbasis kebingungan) bagi para guru di lapangan. Kelahiran kurikulum 2013 antara lain disebabkan oleh banyaknya kritikan terhadap kurikulum KTSP yang  menilai pendidikan selama ini (KTSP) terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif, beban siswa yang terlalu berat, dan kurang bermuatan karakter dan  hanya mementingkan unsur kognitif sementara unsur afektif diabaikan, sehingga bermunculan fenomena sosial yang mengemuka seperti perkelahian pelajar, narkoba, korupsi, plagiarisme, kecurangan dalam berbagai jenis ujian, dan gejolak sosial (social unrest), yang dianggap sebagai output kurikulum 2006 yang mengabaikan karakter, padahal sesungguhnya dalam kurikulum KBK penilaian afektif yang identik dengan penilaian karakter sudah dimunculkan, sehingga buku rapor siswa memuat tiga nilai yaitu kognitif, afektif dan psikomotor, namun lagi-lagi baik kurikulum KBK maupun KTSP menganggap bahwa nilai sikap (karakter hanya sebagai penghias etalase, karena tidak memiliki kekuatan eksekusi untuk tidak menaikkan kelas atau meluluskan siswa. Akibatnya dipenghujung usia KTSP disempurnakan dengan pengimplementasian karakter ke dalam silabus dan RPP, dan yang paling merasakan adalah guru sebagai pelaku di lapangan.
Tahun 2013 merupakan tahun penting bagi dunia pendidikan di Indonesia. Kenapa tidak ?, karena para guru dan orang tua murid akan mendapatkan hadiah tahun baru, berupa pergantian kurikulum 2006 (KTSP), dengan kurikulun 2013.  Dalam terminologi  pemerintah untuk mengaburkan bahwa pergantian kurikulum sarat nuansa politis, maka pemerintah membungkus kado tersebut dengan kalimat “ disesuaikan dengan perkembangan zaman”. Orientasi Kurikulum 2013 adalah terjadinya peningkatan dan keseimbangan antara kompetensi sikap (attitude), keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge).  Inti dari Kurikulum 2013, adalah ada pada upaya penyederhanaan, dan tematik-integratif. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi yang siap di dalam menghadapi masa depan. Karena itu kurikulum disusun untuk mengantisipasi perkembangan masa depan, dengan rasionalitas  penambahan jam pelajaran, perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu), dan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output), serta pengitegrasian beberapa mata pelajaran.
Kemunculan tiap kurikulum, termasuk kurikulum yang akan menjadi hadiah tahun baru buat kita semua juga sebagai hasil dari mengkomparasi berbagai kurikulum yang diterapkan dinegara maju, termasuk penambahan jam pelajaran karena dianggap di Indonesia jam belajar siswa terlalu singkat, di banyak negara, seperti AS dan Korea Selatan, akhir akhir ini ada kecenderungan dilakukan menambah jam pelajaran. Diketahui juga bahwa perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat. Dan kecenderungan akhir-akhir ini banyak negara menambah jam pelajaran seperti di AS dan  Korea Selatan, dan Perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat.
Pengembangan Kurikulum 2013 dilakukan dalam empat tahap. Pertama, penyusunan kurikulum di lingkungan internal Kemdikbud dengan melibatkan sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu dan praktisi pendidikan, (bahasa penulis) tanpa melibatkan unsur guru sebagai pemangku kepentingan. Kedua, pemaparan desain Kurikulum 2013 di depan Wakil Presiden selaku Ketua Komite Pendidikan (bahasa penulis) bersifat politis, karena mestinya yang menjadi ketua dewan pendidikan adalah orang yang faham problem pendidikan bangsa dengan latar belakang pendidikan dan bukan latar belakang ekonomi. yang telah dilaksanakan pada 13 November 2012 serta di depan Komisi X DPR RI pada 22 November 2012. Ketiga, pelaksanaan uji publik guna mendapatkan tanggapan dari berbagai elemen masyarakat. Salah satu cara yang ditempuh selain melalui saluran daring (on-line) pada laman http://kurikulum2013.kemdikbud.go.id , juga melalui media massa cetak (bahasa penulis) uji publik yang tidak melibatkan unsur keterwakilan masyarakat Indonesia secara menyeluruh, karena unsur keterjangkauan uji publik dengan media massa cetak dan on-line hanya menjangkau daerah perkotaan saja, sehingga problem di daerah pelosok, terpencil tidak terakomodasi. Tahap keempat, dilakukan penyempurnaan untuk selanjutnya ditetapkan menjadi Kurikulum 2013.
Kemudian apakan kurikulum baru (2013) akan menjadi hadian yang membahagiakan ataukah membingungkan ?, yang jelas ada fihak yang berbahagia dan ada fihak yang kebingungan, dan  jawabannya tentu sangat tergantung siapa yang menerima hadiah tersebut, bagi pengusaha percetakan, penerbit, dan  Foto Copy akan membawa berkah baru karena proyek percetakan buku teks pelajaran, LKS , foto copy perangkat baru (Silabus, RPP atau mungkin dengan istilah baru). Bagi pejabat ditingkat kementerian, Widia Iswara, pegusaha hotel dan catering juga membawa berkah karena segera setelah penerapan kurikulum baru maka akan bermunculan kegiatan sosialisasi dan diklat. Kemudia orang tua dan Guru sebagai pemangku kepentingan akan berada pada fihak kebingungan, berharap harap cemas. Karena berdasarkan pengalaman sebelumnya rutinitas KBM mulai terganggu dengan kegiatan sosialisasi dan diklat, penyusunan perangkat pengajaran baru yang membutuhkan energi dan biaya besar, padahal rasa lelah menyusunan perangkat yang mengitegrasikan pendidikan karakter ke dalam kurikulum KTSP belumlah hilang.  serta orang tua yang harus mengeluarkan biaya ekstra untuk membeli buku teks pelajaran dan LKS yang telah disesuaikan dengan kurikulum baru (2013), karena bukku teks dan LKS lama menjadi milik pemulung.
Akhirnya marilah kita berdo’a semoga hadiah tahun baru (kurikulum 2013) tidak mengalami nasib yang sama seperti pendahulunya, menuai masalah dalam perjalanannya, karena indikasi tersebut mulai tercium; pertama proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu, dari guru menjadi pusat informasi, menjadi siswa sebagai pelaku). Proses tersebut akan bermasalah di sekolah-sekolah yang berada di daerah pelosok, dengan sarana prasarana yang dimiliki sekolah guru dan siswa yang sangat minim, sarana komunikasi yang tidak tersedia, maka proses pencarian siswa akan terhambat, sehingga yang terjadi kemudian adalah pengajaran dengan metode lama, kedua kurikulum 2013 dicirikan dengan penyederhanaan jumlah mata pelajaran sehingga ada mata pelajaran yang tidak lagi dimunculkan seperti bahasa daerah di SD dan TIK di SMA, sementara guru-gurunya sudah ada yang disertifikasi (Kompas.com), sehingga mereka akan kesulitan untuk memenuhi syarat 24 jam wajib mengajar, ketiga metode tematik-integratif membuka peluang guru dan siswa untuk mengeksplorasi lebih dalam tentang tema bahasannya. Anak-anak juga bebas mengobservasi dan mencari tahu sendiri jawaban dari permasalahan yang dihadapi. "Metode seperti ini tanpa batasan dan dinamis sehingga akan jadi persoalan jika ujian nasional (UN) masih dijadikan alat evaluasi," keempat  jika format evaluasi UN dengan penekanan unsur kognitif saja seperti kurikkulum 2006, sementara unsur afektif (karakter) yang menjadi salah satu ciri kurikulum 2013 tidak memiliki kekuatan eksekusi seperti halnya dalam kurikulum KTSP, maka dapat si pastikan kurikulum 2013 yang menjadi hadiah tahun baru bagi kita semua akan mengalami nasib yang sama dengan 8 saudara kandung pendahulunya.







Minggu, 10 Maret 2013

BALE PANGGUNG
(Antara Kearifan Lokal dengan Kelestarian Lingkungan Hidup)


Oleh  : Mahfud, S.Pd(*



 Indonesia adalah Negara yang sangat kaya akan warisan budaya, tanpa terkecuali daerah kita tercinta Samawa,  sehingga sudah selayaknya warisan budaya tersebut kita jaga dan kita pelihara, sebagai bagian dari budaya nasional agar tetap lestari sebagai sebuah kearifan lokal (KL)  atau local wisdom.  KL dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang  tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius (lg) Menurut Haryati Soebadio mengatakan bahwa lg adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya yang menyebabkan masyarakat daerah tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan budaya  sendiri .


KL terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. KL merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

                Secara umum, KL (dalam situs Departemen Sosial RI) dianggap pandangan hidup, ilmu pengetahuan , peralatan tehnologi, serta  berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dengan pengertian-pengertian tersebut, KL  bukan sekedar nilai tradisi atau ciri lokalitas semata melainkan tradisi yang berbentuk fisik dan non fisik yang mempunyai daya-guna untuk untuk mewujudkan harapan atau nilai-nilai kemapanan yang juga secara universal yang didamba-dambakan  oleh masyarakat setempat.

                Samawa sebagai entitas budaya lokal tentu memiliki sangat banyak ragam KL yang walaupun sampai saat ini para pemerhati budaya samawa masih bersilang pendapat, sedang menginventarisir, mana yang disebut sebagai betul-betul budaya Samawa (kearifan lokal samawa) . memang tidak bisa di pungkiri bahwa ada sangat sedikit budaya yang betul-betul asli di dunia ini, karena pengaruh difusi dan akultirasi budaya, termasuk budaya samawa.
               
                Dalam Loka yang diKLaim sebagai ikon kesamawaan, masih memiliki banyak kesamaan dengan rumah adat  Bala Lompoa di Sulawesi, begitu juga dengan turunannya yang disebut Bale Panggung (BP)sebagai tempat domisili TS kebanyakan , juga memiliki banyak kesamaan dengan rumah tempat tinggal masyarakat Sulawesi selatan.

                 Terlepas dari banyaknya perdebatan akan keaslian bale panggung sebagai KL tau samawa (TS), akan kita abaikan .  yang jelas banyak di antara kita TS, lahir dan besar di tana samawa memahami bahwa BP,  adalah ikon kesamawaan. Untuk menjawab perdebatan di atas tentu menjadi tugas para ilmuan, sejarawan ,peneliti yang peduli akan keberadaan budaya lokal samawa.

                Asumsi saya mengatakan bahwa BP, adalah wujud KL TS. Oleh karena itu, BP sebagai local identity, TS keberadaannya  dari hari ke hari kian meprihatinkan dan dianggap tidak penting lagi. Saya adalah bagian TS yang dilahirkan, dibesarkan dan di didik dalam identitas BP. Dalam perjalanan hidup saya yang menginjak kepala empat, statistik keberadaan BP sangat menyedihkan. Saat saya kelas 3 SD ( th 1978) 98%  pemukiman penduduk di desa saya adalah BP, sedangkan yang 2 % dimiliki  oleh pendatang dari sasak dan segelintir  TS  dengan strata ekonomi kaya. Namun apa yang terjadi sekarang ?, didusun tempat saya lahir kini hanya tersisa 13 BP , itupun 6 diantaranya  tidak murni lagi karena bagian depan atau belakangnya telah disulap menjadi rumah batu (baca tembok), sehinga saya berasumsi ditempat lain juga memiliki kondisi yang hamper sama. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan  dalam  sepuluh tahun kedepan BP hanya tinggal sebuah nama, anak dan cucu kita TS hanya bisa melihat  keberadaan BP di museum. Dan pada saat itulah akan terjadi  TS  tidak mengenal lagi yang namanya “anar, tabongan, para, alang, langke pene, langke belo, jelika, senikan, baji dsb ” yang semuanya  adalah bagian dari BP. Dan saat itulah generasi TS tidak lagi memiliki ketrampilan “entek-turin anar”, seperti halnya teman saya yang orang Probolinggo yang mendapat tugas sebagai guru di salah satu desa di Kecamatan Empang pada tahun 1997, menjadi  sangat  tersiksa  saat akan berangkat dan pulang mengajar karena harus “entek - turin (rabungkak) anar”.

                Mengutip pernyataan YM Sultan Muhammad Kaharuddin IV  (malajah Bulaeng edisi Agustus 2012) tugas kita tau samawa adalah “ menjaga dan melestarikan  jiwa, ruh kebudayaan sebagai penyusun pradaban”, dan berkaca dari kasus bangsa Jepang yang ditaKLukkan oleh Sekutu, seketika setelah taKLuk dalam perang dunia pemimpin mereka berkata kepada sekutu “ kami tidak akan membangun angkatan perang, namun jangan ganggu adat dan budaya kami”. Itu artinya  bahwa kemajuan bangsa Jepang  hanya bermodalkan kesetiaan menjaga dan bangga dengan adat budaya (baca KL) yang mereka miliki.
                Oleh karena itu kondisi  ini  tentu menjadi pemikiran dan keprihatinan kita semua sebagai TS, yang peduli akan identitas lokal, ikon kesamawaan, Apabila BP hilang dari entitas budaya samawa. Sampai saat ini kita tidak tahu pasti penyebab semakin berkurangnya BP sebagai lingkaran  hidup TS, karena tidak ada hasil penelitian dan pengkajian tentang itu, sehingga kita hanya bisa berasumsi bahwa penyebab semakin berkurangnya BP adalah mungkin karena TS tidak lagi memiliki kebanggaan dengan BP sebagai tempat tinggalnya, atau mungkin terkait dengan PP Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 Tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan”, dan Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 26 Tahun 2006 Tentang Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik.
                Keberadaan dua perangkat  hukum tersebut oleh pemerintah tentu memiliki maksud kelestarian kawasan  hutan dan lingkungan hidup, dari rambahan tangan-tangan jahil dan serakah, namun bagi TS mungkin dianggap sulit, rumit serta mahal, mengingat BP 99% material utamanya dari kayu.  Jika hal tersebut menjadi salah satu penyebabnya  tentu  pemerintah harus berfikir dan membuat kebijakan yang membuat keduanya lestari, baik kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat maupun BP , atau dengan membuat kebijakan bahwa dalam tiap kecamatan harus memiliki desa adat yang mempertahankan semua KL yang mereka miliki termasuk BP. Sehingga generasi TS tidak lagi harus jauh-jauh ke kota sumbawa hanya untuk melihat keunikan budayanya sendiri (dalam loka). Oleh karena itu kedepan menjadi pekerjaan rumah buat kita semua TS dari berbagai kalangan, legeslatif ,eksekutif, akademisi, peneliti, komunitas budaya semacam LATS, KIAK, GARDA MASMAWA, sesuai dengan kapasitasnya untuk melakukan beberapa hal seperti; melakukan pengkajian , mengiventarisir, mensosialilsasikan kepada generasi penerus  TS, akan keberadaan budaya samawa (baca kearifan lokal),  melakukan upaya-upaya demi lestarinya KL (termasuk salah satunya adalah BP).