Minggu, 10 Maret 2013

BALE PANGGUNG
(Antara Kearifan Lokal dengan Kelestarian Lingkungan Hidup)


Oleh  : Mahfud, S.Pd(*



 Indonesia adalah Negara yang sangat kaya akan warisan budaya, tanpa terkecuali daerah kita tercinta Samawa,  sehingga sudah selayaknya warisan budaya tersebut kita jaga dan kita pelihara, sebagai bagian dari budaya nasional agar tetap lestari sebagai sebuah kearifan lokal (KL)  atau local wisdom.  KL dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang  tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius (lg) Menurut Haryati Soebadio mengatakan bahwa lg adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya yang menyebabkan masyarakat daerah tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan budaya  sendiri .


KL terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. KL merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

                Secara umum, KL (dalam situs Departemen Sosial RI) dianggap pandangan hidup, ilmu pengetahuan , peralatan tehnologi, serta  berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dengan pengertian-pengertian tersebut, KL  bukan sekedar nilai tradisi atau ciri lokalitas semata melainkan tradisi yang berbentuk fisik dan non fisik yang mempunyai daya-guna untuk untuk mewujudkan harapan atau nilai-nilai kemapanan yang juga secara universal yang didamba-dambakan  oleh masyarakat setempat.

                Samawa sebagai entitas budaya lokal tentu memiliki sangat banyak ragam KL yang walaupun sampai saat ini para pemerhati budaya samawa masih bersilang pendapat, sedang menginventarisir, mana yang disebut sebagai betul-betul budaya Samawa (kearifan lokal samawa) . memang tidak bisa di pungkiri bahwa ada sangat sedikit budaya yang betul-betul asli di dunia ini, karena pengaruh difusi dan akultirasi budaya, termasuk budaya samawa.
               
                Dalam Loka yang diKLaim sebagai ikon kesamawaan, masih memiliki banyak kesamaan dengan rumah adat  Bala Lompoa di Sulawesi, begitu juga dengan turunannya yang disebut Bale Panggung (BP)sebagai tempat domisili TS kebanyakan , juga memiliki banyak kesamaan dengan rumah tempat tinggal masyarakat Sulawesi selatan.

                 Terlepas dari banyaknya perdebatan akan keaslian bale panggung sebagai KL tau samawa (TS), akan kita abaikan .  yang jelas banyak di antara kita TS, lahir dan besar di tana samawa memahami bahwa BP,  adalah ikon kesamawaan. Untuk menjawab perdebatan di atas tentu menjadi tugas para ilmuan, sejarawan ,peneliti yang peduli akan keberadaan budaya lokal samawa.

                Asumsi saya mengatakan bahwa BP, adalah wujud KL TS. Oleh karena itu, BP sebagai local identity, TS keberadaannya  dari hari ke hari kian meprihatinkan dan dianggap tidak penting lagi. Saya adalah bagian TS yang dilahirkan, dibesarkan dan di didik dalam identitas BP. Dalam perjalanan hidup saya yang menginjak kepala empat, statistik keberadaan BP sangat menyedihkan. Saat saya kelas 3 SD ( th 1978) 98%  pemukiman penduduk di desa saya adalah BP, sedangkan yang 2 % dimiliki  oleh pendatang dari sasak dan segelintir  TS  dengan strata ekonomi kaya. Namun apa yang terjadi sekarang ?, didusun tempat saya lahir kini hanya tersisa 13 BP , itupun 6 diantaranya  tidak murni lagi karena bagian depan atau belakangnya telah disulap menjadi rumah batu (baca tembok), sehinga saya berasumsi ditempat lain juga memiliki kondisi yang hamper sama. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan  dalam  sepuluh tahun kedepan BP hanya tinggal sebuah nama, anak dan cucu kita TS hanya bisa melihat  keberadaan BP di museum. Dan pada saat itulah akan terjadi  TS  tidak mengenal lagi yang namanya “anar, tabongan, para, alang, langke pene, langke belo, jelika, senikan, baji dsb ” yang semuanya  adalah bagian dari BP. Dan saat itulah generasi TS tidak lagi memiliki ketrampilan “entek-turin anar”, seperti halnya teman saya yang orang Probolinggo yang mendapat tugas sebagai guru di salah satu desa di Kecamatan Empang pada tahun 1997, menjadi  sangat  tersiksa  saat akan berangkat dan pulang mengajar karena harus “entek - turin (rabungkak) anar”.

                Mengutip pernyataan YM Sultan Muhammad Kaharuddin IV  (malajah Bulaeng edisi Agustus 2012) tugas kita tau samawa adalah “ menjaga dan melestarikan  jiwa, ruh kebudayaan sebagai penyusun pradaban”, dan berkaca dari kasus bangsa Jepang yang ditaKLukkan oleh Sekutu, seketika setelah taKLuk dalam perang dunia pemimpin mereka berkata kepada sekutu “ kami tidak akan membangun angkatan perang, namun jangan ganggu adat dan budaya kami”. Itu artinya  bahwa kemajuan bangsa Jepang  hanya bermodalkan kesetiaan menjaga dan bangga dengan adat budaya (baca KL) yang mereka miliki.
                Oleh karena itu kondisi  ini  tentu menjadi pemikiran dan keprihatinan kita semua sebagai TS, yang peduli akan identitas lokal, ikon kesamawaan, Apabila BP hilang dari entitas budaya samawa. Sampai saat ini kita tidak tahu pasti penyebab semakin berkurangnya BP sebagai lingkaran  hidup TS, karena tidak ada hasil penelitian dan pengkajian tentang itu, sehingga kita hanya bisa berasumsi bahwa penyebab semakin berkurangnya BP adalah mungkin karena TS tidak lagi memiliki kebanggaan dengan BP sebagai tempat tinggalnya, atau mungkin terkait dengan PP Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 Tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan”, dan Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 26 Tahun 2006 Tentang Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik.
                Keberadaan dua perangkat  hukum tersebut oleh pemerintah tentu memiliki maksud kelestarian kawasan  hutan dan lingkungan hidup, dari rambahan tangan-tangan jahil dan serakah, namun bagi TS mungkin dianggap sulit, rumit serta mahal, mengingat BP 99% material utamanya dari kayu.  Jika hal tersebut menjadi salah satu penyebabnya  tentu  pemerintah harus berfikir dan membuat kebijakan yang membuat keduanya lestari, baik kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat maupun BP , atau dengan membuat kebijakan bahwa dalam tiap kecamatan harus memiliki desa adat yang mempertahankan semua KL yang mereka miliki termasuk BP. Sehingga generasi TS tidak lagi harus jauh-jauh ke kota sumbawa hanya untuk melihat keunikan budayanya sendiri (dalam loka). Oleh karena itu kedepan menjadi pekerjaan rumah buat kita semua TS dari berbagai kalangan, legeslatif ,eksekutif, akademisi, peneliti, komunitas budaya semacam LATS, KIAK, GARDA MASMAWA, sesuai dengan kapasitasnya untuk melakukan beberapa hal seperti; melakukan pengkajian , mengiventarisir, mensosialilsasikan kepada generasi penerus  TS, akan keberadaan budaya samawa (baca kearifan lokal),  melakukan upaya-upaya demi lestarinya KL (termasuk salah satunya adalah BP).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar