BALE PANGGUNG
(Antara Kearifan Lokal dengan Kelestarian Lingkungan
Hidup)
KL terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun
kondisi geografis dalam arti luas. KL merupakan
produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan
hidup. Meski pun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya
dianggap sangat universal.
Secara umum, KL (dalam situs Departemen Sosial RI) dianggap pandangan hidup,
ilmu pengetahuan , peralatan tehnologi, serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud
aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah
dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dengan pengertian-pengertian tersebut, KL bukan sekedar nilai tradisi atau ciri
lokalitas semata melainkan tradisi yang berbentuk fisik dan non fisik yang mempunyai
daya-guna untuk untuk mewujudkan harapan atau nilai-nilai kemapanan yang juga
secara universal yang didamba-dambakan oleh masyarakat setempat.
Samawa sebagai entitas budaya lokal tentu memiliki sangat banyak
ragam KL yang walaupun sampai saat
ini para pemerhati budaya samawa
masih bersilang pendapat, sedang menginventarisir, mana yang disebut sebagai
betul-betul budaya Samawa (kearifan lokal samawa) . memang tidak
bisa di pungkiri bahwa ada sangat sedikit budaya yang betul-betul asli di dunia
ini, karena pengaruh difusi dan akultirasi budaya, termasuk budaya samawa.
Dalam Loka yang diKLaim sebagai ikon kesamawaan, masih memiliki banyak kesamaan
dengan rumah adat Bala Lompoa di Sulawesi, begitu juga dengan turunannya yang disebut
Bale Panggung (BP)sebagai tempat
domisili TS kebanyakan , juga
memiliki banyak kesamaan dengan rumah tempat tinggal masyarakat Sulawesi
selatan.
Terlepas dari banyaknya perdebatan akan
keaslian bale panggung sebagai KL tau
samawa (TS), akan kita abaikan . yang jelas banyak di antara kita TS, lahir dan besar di tana samawa memahami bahwa BP, adalah ikon kesamawaan. Untuk menjawab
perdebatan di atas tentu menjadi tugas para ilmuan, sejarawan ,peneliti yang
peduli akan keberadaan budaya lokal samawa.
Asumsi
saya mengatakan bahwa BP, adalah
wujud KL TS. Oleh karena itu, BP sebagai local identity, TS keberadaannya dari hari ke hari kian meprihatinkan dan
dianggap tidak penting lagi. Saya adalah bagian TS yang dilahirkan, dibesarkan dan di didik dalam identitas BP. Dalam perjalanan hidup saya yang
menginjak kepala empat, statistik keberadaan BP sangat menyedihkan. Saat saya kelas 3 SD ( th 1978) 98% pemukiman penduduk di desa saya adalah BP, sedangkan yang 2 % dimiliki oleh pendatang dari sasak dan segelintir TS dengan strata ekonomi kaya. Namun apa yang
terjadi sekarang ?, didusun tempat saya lahir kini hanya tersisa 13 BP , itupun 6 diantaranya tidak murni lagi karena bagian depan atau
belakangnya telah disulap menjadi rumah batu (baca tembok), sehinga saya berasumsi ditempat lain juga memiliki
kondisi yang hamper sama. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan dalam sepuluh
tahun kedepan BP hanya tinggal sebuah
nama, anak dan cucu kita TS hanya
bisa melihat keberadaan BP di museum. Dan pada saat itulah akan
terjadi TS tidak mengenal lagi yang
namanya “anar, tabongan, para, alang,
langke pene, langke belo, jelika, senikan, baji dsb ” yang semuanya adalah bagian dari BP. Dan saat itulah generasi TS
tidak lagi memiliki ketrampilan “entek-turin
anar”, seperti halnya teman saya yang orang Probolinggo yang mendapat tugas
sebagai guru di salah satu desa di Kecamatan Empang pada tahun 1997, menjadi sangat tersiksa
saat akan berangkat dan pulang mengajar
karena harus “entek - turin (rabungkak)
anar”.
Mengutip
pernyataan YM Sultan Muhammad Kaharuddin IV (malajah Bulaeng edisi Agustus 2012) tugas
kita tau samawa adalah “ menjaga dan
melestarikan jiwa, ruh kebudayaan sebagai
penyusun pradaban”, dan berkaca dari kasus bangsa Jepang yang ditaKLukkan oleh
Sekutu, seketika setelah taKLuk dalam perang dunia pemimpin mereka berkata
kepada sekutu “ kami tidak akan membangun angkatan perang, namun jangan ganggu
adat dan budaya kami”. Itu artinya bahwa
kemajuan bangsa Jepang hanya bermodalkan
kesetiaan menjaga dan bangga dengan adat budaya (baca KL) yang mereka miliki.
Oleh
karena itu kondisi ini tentu menjadi pemikiran dan keprihatinan kita
semua sebagai TS, yang peduli akan
identitas lokal, ikon kesamawaan, Apabila BP
hilang dari entitas budaya samawa.
Sampai saat ini kita tidak tahu pasti penyebab semakin berkurangnya BP sebagai lingkaran hidup TS,
karena tidak ada hasil penelitian dan pengkajian tentang itu, sehingga kita
hanya bisa berasumsi bahwa penyebab semakin berkurangnya BP adalah mungkin karena TS
tidak lagi memiliki kebanggaan dengan BP
sebagai tempat tinggalnya, atau mungkin terkait dengan PP Republik Indonesia
Nomor 34 Tahun 2002 Tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan
Hutan”, dan Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 26 Tahun 2006 Tentang Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik.
Keberadaan dua
perangkat hukum tersebut oleh pemerintah
tentu memiliki maksud kelestarian kawasan hutan dan lingkungan hidup, dari rambahan
tangan-tangan jahil dan serakah, namun bagi TS
mungkin dianggap sulit, rumit serta mahal, mengingat BP 99% material utamanya dari kayu. Jika hal tersebut menjadi salah satu
penyebabnya tentu pemerintah harus berfikir dan membuat
kebijakan yang membuat keduanya lestari, baik kawasan hutan sebagai penyangga
kehidupan masyarakat maupun BP , atau
dengan membuat kebijakan bahwa dalam tiap kecamatan harus memiliki desa adat
yang mempertahankan semua KL yang
mereka miliki termasuk BP. Sehingga
generasi TS tidak lagi harus
jauh-jauh ke kota sumbawa hanya untuk melihat keunikan budayanya sendiri (dalam loka). Oleh karena itu kedepan
menjadi pekerjaan rumah buat kita semua TS
dari berbagai kalangan, legeslatif ,eksekutif, akademisi, peneliti, komunitas
budaya semacam LATS, KIAK, GARDA MASMAWA, sesuai dengan kapasitasnya untuk
melakukan beberapa hal seperti; melakukan pengkajian , mengiventarisir,
mensosialilsasikan kepada generasi penerus TS, akan keberadaan budaya samawa (baca kearifan lokal), melakukan upaya-upaya demi lestarinya KL (termasuk salah satunya adalah BP).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar